
Di gerbang utama itu tertulis nama Abu Waqash dalam huruf Arab.
Lalu ada gerbang lain lagi: gerbang di dalam gerbang. Itulah gerbang khusus menuju makam Abu Waqash.
Setelah melewati gerbang itu terlihat taman makam. Lebih dari 20 nisan berjajar di kanan kiri jalan. Nisan itu ditutup kain. Semuanya. Warna penutupnya coklat muda berpola. Tidak ada kesan magis di penutupnya. Juga tidak ada kesan keramat.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Ikan PrimaLand
Di tengah-tengah taman makam itulah ada bangunan kuno khas Laut Tengah: bangunan beton dengan satu pintu lengkung di bagian depan. Tinggi lengkung itu tidak setinggi badan saya.
Saya pun harus merunduk saat memasukinya. Ruangannya sempit. Nisannya besar. Ditutup kain tebal dihiasi banyak tulisan Arab.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Abdullah Listrik
Beberapa penziarah duduk di sekitar nisan: membaca quran. Tujuh orang. Sudah agak sesak. Saya memaksa duduk di pojok nisan. Berdoa. Membaca quran. Tidak lama. Harus bergantian.
Saya lihat beberapa wanita di rombongan kami juga bergiliran masuk. Baik yang pakai kerudung maupun yang you can see berpenutup darurat. Yang Kristen. Yang Buddha. Mereka duduk menghadap makam. Menunduk. Berdoa. Dalam hati.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Tembus Kerupuk
Begitu keluar dari ruang nisan itu terlihat begitu banyak orang Tionghoa yang ingin masuk. Dari wajah mereka saya hafal: orang dari provinsi Gansu. Atau Qunghai. Apalagi kalau lihat cara mereka pakai topi putih yang menempel di kepala.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News