Polemik Keberadaan Burung Kuntul, Antara Polusi dan Potensi

Polemik Keberadaan Burung Kuntul, Antara Polusi dan Potensi - GenPI.co
Diskusi polemik burung kuntul di Kota Budaya Tanah Datar, Sumbar. (Foto: Stugar)

Beberapa tahun belakangan, keberadaan burung kuntul di Kota Batusangkar menjadi polemik. Banyaknya populasi burung menyebabkan terganggunya masyarakat dengan kotoran dan bau. Di sisi lain, burung kuntul tidak boleh diganggu karena berada dalam kawasan Cagar Alam Baringin Sakti. 

Burung Kuntul juga menyimpan potensi besar yang bisa menjadi keunggulan Tanah Datar. Untuk mengatasi hal ini, keberadaan Burung Kuntul menjadi pembahasan Diskusi Pagi di Pasar Van Der Capellen, Minggu (3/3) kemarin. Dipandu oleh Direktur Walhi Sumbar Uslaini, diskusi menghadirkan pembicara akademisi Universitas Andalas, Wilson Novarino, Camat Lima Kaum Afrizal, Kepala Perwakilan Kabarsumbar.com, Aldoris, dan Direktur PBHI Sumbar Wengki Purwanto.

Camat Lima Kaum yang akrab dipanggil Ayah memaparkan, aroma kotoran burung bangau menganggu kenyamanan dari aroma dan kotoran yang jatuh. Dikhawatirkan akan membawa virus flu burung karena tidak bisa dikontrol jumlah populasi dan keberadaannya. Kotoran burung bangau mengotori lingkungan dan mobil yg parkir dibawah pohon.

“Jadi malu kita sama pengunjung kota yang tidak tahu di atas beringin ada burung bangau,” ujar pria murah senyum ini.

Di sisi lain, menurutnya masyarakat seputaran Batusangkar khususnya di Kecamatan Sungai Tarab dan Sungayang tidak bisa lagi melakukan minapadi dengan melepas bibit ikan ke sawah. Sebab petani khawatir ikannya dimakan oleh bangau.

Sedangkan Aldoris, perwakilan kabarsumbar.com di Tanah Datar yang tinggal di kawasan pohon Baringin itu menceritakan, dia dan keluarganya tinggal di sekitar habitat burung bangau, dan merasa sangat terganggu dengan keberadaan burung kuntul tersebut.

“Tahun 2014 anak saya terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) hingga meninggal dunia. Saya menduga polusi yang disebabkan bangau ini salah satu pemicunya. Kalau memang burung kuntul ini tidak boleh diganggu, pihak terkait harusnya mencarikan solusi bagaimana burung ini bisa tetap terlindungi, namun juga tidak mengganggu masyarakat,” ujarnya.

Akademisi Unand, Wilson Novarino menceritakan, tahun 1993 saat dia melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Tanah Datar, setiap Minggu dirinya berkumpul bersama teman-teman di kawasan Cagar Alam Baringin Sakti. 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya