
Sebelum sampai di panggung utama, sambil menunggu temanku Nana membetulkan jilbabnya, Bambang memotret sunset.
“Saat aku memotret Sunset, tiba-tiba bumi berguncang keras. Semua orang teriak gempa. Aku jatuh bangun, berusaha berdiri tapi tetap terpental. Sangat susah lari dan melangkah di pantai berpasir tebal, hingga sandalku hilang,” katanya.
Bambang masih mendengar teman-temannya memanggil agar ia cepat lari. “Aku juga masih sempat melihat kuda disebelahku terpelanting. Dan aku melihat bumi seperti mengocok laut. Semua panggung roboh seketika,” kisahnya.
Saat kakinya bisa keluar pasir, Bambang mencoba berlari. Namun, tetap saja ia harus jatuh bangun. Air pun sudah meninggi dan mulai menyeberang jalan dan mengejarnya.
“Aku jatuh bangun dalam air. Dan sempat berdiri dibalik pohon bambu kecil. Lalu aku pindah dibalik rumah dan berpegangan di pintu gerbang besi. Aku melihat air selain mengejarku dari kanan belakang, ternyata juga datang dari arah kiri. Tapi, Aku tidak mampu lagi berlari. Aku hanya mampu berpegangan pagar sambil berteriak, ‘Ya Allah, Astaghafirullahalaziem, Ya Allah, ampuni aku!" tuturnya.
Tak lama, air sudah merendam setinggi dada. Tapi, air cepat surut hingga turun di atas tumit. Atau sekitar 30 cm dari tanah. Namun, Bambang sudah tertinggal jauh dengan teman-temannya. Untuk bertahan, Bambang berusaha mencari tempat tinggi.
Dekat situ, ia lihat ada bangunan yang sedang dibongkar. Bambang pun berusaha naik ke puing-puing tangga. Namun, tangganya sudah hancur,
“Aku balik ke bagian depan bangunan. Karena, kulihat beberapa orang turun dari situ. Tapi ternyata aku tidak bisa naik. Karena, kakiku lemas. Dan, bangunan yang akan ku panjat, lantai atasnya sudah tak ada,” kenangnya.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News