Ketika Alam Murka, Tidak Peduli Kita (2)

Ketika Alam Murka, Tidak Peduli Kita (2) - GenPI.co
Frea Anneta.

Aku melihat banyak orang terjatuh. Kemudian terinjak orang di belakangnya, yang juga sedang berusaha berlari secepat-cepatnya. Tetapi aku juga melihat sebagian lainnya  berusaha menolong orang-orang yang terjatuh. Sambil teriak-teriak, yang aku sendiri tidak mengerti teriak apa mereka.

Aku bisa tahu mereka berteriak hanya  dengan melihat mimik mukanya saja. Mulutnya yang terbuka lebar dengan muka yang berkerut, sambil mengulurkan tangan mereka. Tetapi, sekalipun mereka berteriak keras, suaranya tidak bisa terdengar oleh kami. Dan kini aku baru menyadari, betapa kalau alam itu sudah murka, aku manusia , sudah bukan siapa-siapa lagi.  Hanya bagian yang sangat kecil.

Ya, aku hanya bagian terkecil dari alam ini. Dan bahkan betapa kecilnya kami.  Alam seperti tidak begitu peduli dengan kami, manusia. Begitu murkanya, rasanya bukan hanya tubuh atau wadagnya  yang akan ditelannya. Bahkan, suara, teriakan, rintihan atau jeritan manusia seakan ditelannya. Ditelan suara gemuruh yang maha dahsyat, suara angin dan gelombang ombak tsunami.

Seakan alam telah menenggelamkan semua jeritan dan rintihan manusia, sebelum pada akhirnya alam akan menelan kami dengan semua yang kami punya.  Ya Tuhan, aku hanya bisa bersyukur dan bersujud kepadaMu, kalau pada akhirnya aku masih bisa berbagi cerita di sini. Tuhan telah menyelamatkan kami, dari bencana yang dashyat ini.

Dari rangkain bencana  ini, aku hanya bisa merekam dalam memoriku sepotong demi sepotong. Karena, aku selalu mencoba berhenti berlari ketika kondisi bumi sudah sedikit tenang. Ketika bumi berhenti mengocok kami dengan guncangannya yang maha dasyat. Berhenti lalu melihat sekelilingnya. Kadang menoleh ke belakang.

Dan betapa terkejutnya ketika aku melihat ke belakang. Setelah sekian menit aku berlari kok rasanya masih ada di bibir pantai. Lebih terkejut lagi, jembatan kuningnya tidak ada. Stand-stand pameran untuk acara festival Palu Nomoni itu sudah menghilang. Menjadi laut……. Bumi sudah tenang pikirku. Tetapi suara gemuruh angin dan ombak masih mencekam.

Ya Tuhan, berhentikan gempanya, pintaku dalam hati. Tentu, sambil berlari-lari kecil. Tetapi, belum genap dalam hitungan jari aku melangkah. Belum genap dalam hitungan detik aku memohon, tiba-tiba bumi kembali berguncang. Kembali murka, dan seperti ada suara kraaaak…. Ternyata ada  pohon yang roboh. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari posisiku.

Dan lagi-lagi aku harus menyebut asma-Mu ya Tuhan. Bumi yang aku pijak rasanya retak. Tiba-tiba seperti ada parit di depan mataku. Tidak banyak mikir, aku mencoba mempercepat langkah. Bumi bisa terbelah, pikirku. Aku harus lebih cepat lagi, harus lebih kencang lagi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya