Catatan Dahlan Iskan: Tandu Huang

Catatan Dahlan Iskan: Tandu Huang - GenPI.co
Dahlan Iskan. Foto: Disway

GenPI.co - Tiga kali saya ditawari untuk ditandu saja. Naik tandu. Dipikul dua orang.  Saya mencoba bertahan: Deng Xiaoping mampu naik gunung Huangshan di usianya yang 71 tahun. Saya harus kuat.

Apalagi seorang ibu di depan saya berumur 73 tahun. Tertatih. Tapi kuat. Dia mempersilakan saya mendahului. Dia ingin istirahat dulu. Dia pun duduk di batu di jalan tangga yang sempit ini.

Saya ikut duduk. Saya ingin tetap di belakang ibu itu. Tangga batu ini luar biasa curam. Hampir tegak lurus. Tinggi sekali. Kanan kirinya tebing batu juga. Lalu ada tali besar sebagai pegangan.

BACA JUGA:  Catatan Dahlan Iskan: Kucing Jembatan

Tanpa tali itu saya sudah menyerah. Bukan hanya karena lelah, tapi lebih pada takut: apakah kalau saya nanti gemetar tidak membuat pegangan saya itu melemah. Lalu oksigen yang masuk ke otak berkurang. Terkulai. Menggelundung ke bawah.

Memang di belakang saya penuh manusia. Sampai tangga terbawah sana. Kalaupun menggelundung akan tertahan orang di belakang saya. Tapi bisa juga terjadi efek domino: semua yang di bawah saya ikut menggelundung.

BACA JUGA:  Catatan Dahlan Iskan soal Wuhan: Mao Muda

Saya tetap harus naik. Sabar. Pelan-pelan saja. Yang muda di belakang saya mau mengalah: ikut naik tangga pelan-pelan.

Memang mereka tidak akan bisa menyalip. Tangga ini hanya cukup satu orang. Bisa sih mereka menyalip, tapi berbahaya bagi yang tua.

BACA JUGA:  Catatan Dahlan Iskan: Nagabonar Sudan

Saya sendiri, setiap naik satu tangga ambil napas dulu. Tangganya begitu terjal. Maksud saya: perlu mengangkat kaki tinggi untuk bisa menapak satu tangga. Berarti tidak mungkin bertumpu pada kekuatan kaki. Harus ditarik oleh kekuatan tangan yang berpegang di tali.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya