
Dalam posisi seperti itu, yang selalu hidup di pikiran: saya tidak boleh emosi. Tidak boleh gengsi. Tidak boleh sok kuat. Orang ada apesnya.
Saya selalu ingat teman saya di Surabaya. Pengusaha besar. Terbesar di Surabaya. Umurnya hanya 3 bulan lebih muda dari saya. Ia rekreasi bersama anak cucu ke Amerika. Di sana ikut cucu naik roller coaster.
Kena stroke. Hanya uangnya yang kelewat banyak yang bisa membuat ia sembuh. Kini, 10 tahun kemudian, tetap sehat. Olahraga pingpong tiap hari. Genggam salamannya menjadi kuat sekali.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Kucing Jembatan
Puncak gunung Huangshan tidak terlalu tinggi, setidaknya bagi pendaki seperti Rocky Gerung. Hanya 1.800 meter. Tapi Huangshan terjal sejak dari bawah. Kini memang sudah ada cable car untuk melewati terjal yang terbawah. Itu saja 20 menit sendiri.
Mungkin saya tidak mampu sampai puncak kalau tidak dibantu itu. Deng Xiaoping dulu mendaki sejak bawah. Demikian juga teman-teman seperjalanan saya kali ini: dua perempuan satu laki-laki. Semuanya kuat mendaki.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Wuhan: Mao Muda
Masih muda. Tapi cable car itu menipu saya. Saya pikir sebagian besar pekerjaan sudah diselesaikan cable car. Tinggal sisanya. Apalagi sekeluar dari cable car jalan agak mendatar. Ternyata mendatarnya hanya sekadar.
Setelah itu menanjak. Menurun sedikit menanjak lagi. Memutar sedikit menanjak lagi. Menikung sedikit menanjak banyak. Tidak habis-habisnya.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Nagabonar Sudan
Beberapa tandu lewat. Tandu itu minta jalan melewati saya. Banyak yang ditandu itu masih terlihat lebih muda. Saya pun heran: justru tidak melihat ada wanita di atas tandu.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News