Jaladara, 'Jiwa' Kolonial di Zaman Milenial

Jaladara, 'Jiwa' Kolonial di Zaman Milenial - GenPI.co

Jaladara, 'Jiwa' Kolonial di Zaman Milenial

My Trip Story: Jaladara, aroma kolonial di zaman milenial (Foto : Mia/GenPI.co)

Kereta buatan Jerman  pada tahun 1896 itu memang tidak beroprasi sembarangan. Untuk bisa naik harus ada izin terlebih dahulu dengan Dinas Perhubungan dan PT KAI. Dalam 1 bulan, kereta wisata ini hanya beroperasi 6 kali saja karena tingginya biaya perawatan. Itulah kenapa, saya merasa sangat beruntung bisa berjelajah menggunakan kereta uap Jaladara. 

Sepanjang perjalanan saya kilas balik, membayangkan berada di perjalanan pada masa kolonial. Membayangkan betapa canggihnya alat transportasi ini pada zamannya. Namun mungkin tak semua orang bisa naik, dan hanya orang-orang kalangan atas saja. 

Saya menduduki sebuah bangku terbuat dari kayu jati tua yang jauh dari kata nyaman. Kereta kami melintas perlahan di pinggir jalan Selamet Riyadi dengan suara gemuruh dan bising. Sementara tiga Sinden tengah asik bernyanyi tembang ‘prahu layar’ sambil bermain sitter. Tak lupa mbok jamu gendong pun menawarkan jamu galian singset untuk para wanita. 

Perjalanan dimulai dari Stasiun Purwosari dan kami istirahat di depan Loji Gandrung. Rumah Cagar Budaya ini pernah menjadi tempat istirahat Ir Soekarno, dan kini menjadi rumah dinas Wali Kota Solo. Ada satu ruangan yang dulu disebut sebagai kamar presiden pertama RI itu. Saat masuk ke dalam kamar tersebut, saya melihat sejumlah perabot kuno yang diletakkan dengan rapih di sudut-sudut ruangan. 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya