Oase itu bernama Telaga Mburet

Oase itu bernama Telaga Mburet - GenPI.co
Telaga Mburet yang tenang sekaligus mistis. (Foto: Akbar Himovic/GenPI Tulungagung)

Mistis, begitu agaknya kesan pertama ketika pertama kali menjejakkan kaki berpijak di tanah Mburet. Panorama indah berpayung pepohonan lebat, serta pelataran luas berkarpet rumput, menjadi suguhan awal di  gerbang masuk hingga ke ujung telaga.

Rimbun pepohonan pun membuat sinar matahari kesusahan mencapai tanah. Akibatnya, hawa sejuk memenuhi seluruh kawasan. Semuanya berpadu cantik dengan tenangnya permukaan air Telaga Mburet. Pada genangan air itu tersemat sebuah mitos. Pada musim kemarau paling keras sekalipun, air tak pernah berkurang barang satu tetes. Sementara warna biru air merefleksikan kedalamannya. Indah , mistis, sekaligus damai.

Edy Purnomo, salah seorang pengurus Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat menjelaskan legenda yang melatari Telaga Mburet. “Telaga ini kira-kira muncul pada jaman Majapahit,” ujarnya kepada sebuah grup GenPI Tulungagung yang mengunjungi tempat itu baru-baru ini.

Edy Purnomo  juga menuturkan, mitos terbentuknya telaga Mburet ini tak lepas dari tokoh mbah Djigangdjoyo, salah seorang yang dipercaya merupakan kerabat dari Kerajaan Majapahit yang lari ke kawasan tersebut.

Menurut cerita turun temurun dari tetua masyarakat sekitar, mbah Djigangdjoyo melakukan perjalanan dengan rombongan tentara sembari menggendong seorang bayi. Singkat cerita, bayi yang menangis kehausan memaksa mbah Djigangdjoyo beserta rombongan berhenti di ekitaran kawasan telaga tersebut. Mbah Jigangdjoyo lalu mengambil sebatang kayu yang kemudian dipakainya menggali tanah. Air pun keluar dari lubang tersebut, yang kemudian menghilangkan dagaga sang bayi dan seluruh rombongan.

“Semburan air segera memenuhi kawasan tersbut, menciptakan Telaga Mburet yang ada hingga sekarang. Mbah Djigangdjoyo lalu berpesan kepada masyarakat di kawasan itu untuk selalu menjaga kelestarian telaga,” ucap pria yang kerap disapa Dozer tersebut.

Untuk memperingati kejadian tersebut, warga selalu menggelar acara ulur-ulur. Dalam bahasa Indonesia, artinya kira-kira bermakna  bermakna sambung-menyambung tiap tahun.

Menurut Dozer, ritual itu bertujuan untuk membersih desa dari musibah, sekaligus bersyukur kepada Tuhan yang maha esa atas limpahan karunia dalam setahun.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya