Kuota 90 Persen Sistem Zonasi, Timbulkan 5 Dampak Buruk ini

08 Juli 2019 10:04

GenPI.co – Tahun 2019 Kemendikbud mengeluarkan regulasi baru terkait dengan PPDB (penerimaan peserta didik baru) yakni sistem zonasi, prestasi, dan perpindahan orang tua. Dari ketiga sistem tersebut, zonasi masih menjadi kebijakan paling sensitif. Tahun ini sistem ini kembali menjadi polemik, pasalnya kuota jalur zonasi diperbanyak hingga 90 persen namun radius zonasi justru dipersempit hanya 2 km atau setingkat kelurahan.

Tak heran sistem yang dinilai mendadak dan terburu-buru ini akhirnya membuat heboh masyarakat. Sebab, beberapa anak justru terhambat hak untuk mendapatkan pendidikannya karena aturan sistem zonasi ini. Pasalnya sistem ini tidak menekankan pada nilai dari calon peserta didik (NEM), namun pada jarak atau radius antara rumah siswa dengan sekolah.

"Tujuan diterapkan zonasi adalah menghapus sekolah favorit, karena semua harus sama, tidak boleh ada yang status favorit kemudian yang lain buangan," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dikutip Antara.

Terlepas dari tujuan baiknya, sistem ini dinilai banyak menimbulkan kerugian terutama bagi calon siswa. Berikut ini 5 dampak negatif dari kebijakan sistem zonasi seperti dirangkum dari berbagai sumber.

1. Melanggar hak anak

Sesuai isi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal 5 ayat 1 yakni “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Sehingga hak dasar anak untuk mendapat pendidikan diindikasi mengalami pelanggaran dengan pemberlakuan sistem zonasi ini. Sistem ini lantas membuat beberapa anak terancam tidak dapat menikmati bangku sekolah.

Keterbatasan kuota yang tersedia di masing-masing sekolah hingga tidak semua zona memiliki sekolah negeri membuat banyak anak, terutama yang jarak rumahnya jauh dari bangunan sekolah, terancam tak bisa melanjutkan pendidikan. Jikapun bisa harus masuk swasta dengan biaya selangit.

2. Tidak semua zona punya sekolah negeri

Salah satu hal yang menjadi permasalahan dari aturan zonasi ini adalah tidak semua wilayah terdapat sekolah negeri. Hal ini membuat siswa yang rumahnya jauh dari sekolah terhambat pemenuhan haknya untuk memperoleh pendidikan.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hal ini juga menjadi persoalan yang diadukan oleh masyarakat kepada KPAI. Juga menjadi "curhatan" masyarakat lewat sosial media KPAI. "Pada dasarnya pengaduan tentang kehilangan hak atas pendidikan. Terutama tentang mengakses sekolah negeri," kata anggota komisioner KPAI, Retno Listyarti.

3. Menimbulkan SKTM palsu

Dalam Permendikbud No.14 Tahun 2018 terdapat ketentuan bahwa sekolah memiliki kewajiban untuk menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik yang berasal dari keluarga dengan ekonomi tidak mampu. Sekolah paling sedikit berjumlah 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik.

Penerimaan pembebasan biaya pendidikan itu dibuktikan dengan menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Dalam praktiknya, masyarakat justru memanfaatkan peluang lemahnya kontrol pemberian SKTM. Hal ini menyebabkan banyak SKTM palsu yang beredar. Banyak orang yang sebenarnya mampu namun memperoleh SKTM dan menerima pembebasan biaya pendidikan.

4. Setiap zona memiliki karakter berbeda

Mendikbud mengklaim sistem Zonasi telah berjalan dengan baik secara keseluruhan. "Hambatan yang mengemuka, masih banyak daerah yang sepenuhnya belum mengadopsi peraturan menteri tentang zonasi," kata Mendikbud Muhadjir seperti dikutip dari Antara.

Namun pada kenyataannya setiap wilayah di Indonesia memiliki karakter pendidikan yang berbeda,, baik dari ketersediaan SDM, fasilitas pendidikan dan jarak sekolah yang berbeda. Anggota komisioner KPAI, Retno Listyarti mengatakan, tidak semua daerah menerapkan sistem yang sama. Seperti di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tidak menerapkan sistem SKTM namun menerapkan sistem menggunakan Kartu Jakarta Pintar (KJP).

Baca juga:

Sistem Zonasi PPDB 2019 Tuai Kontroversi, Adakah Solusi?

Ditolak SMPN Impian Karena Sistem Zonasi, Siswa Bakar 15 Piagam

5. Kurang sosialisasi

Sejumlah pihak mengatakan Kemendikbud dirasa kurang memberikan sosialisasi secara optimal baik kepada dinas pendidikan yang ada di daerah-daerah, pihak sekolah, juga kepada orang tua/ wali maupun calon siswa. 

"Yang paling sering dikeluhkan orangtua sih ya, bukan ngadu tapi curhat di media sosial kita, adalah sosialisasi yang tidak dipahami," kata Retno. Hal ini menjadi persoalan yang juga muncul dari pemberlakukan sistem zonasi.


Simak juga video ini:

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Maulin Nastria Reporter: Hafid Arsyid

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co