Sorotan Kegaduhan Saat Ahok Didorong Jadi Pejabat BUMN

17 November 2019 16:55

GenPI.co - Sejak tengah pekan lalu, nama Ahok kembali mengorbit. Dia kembali ramai diperbincangkan. Namanya kembali naik kepermukaan setelah Ahok mendatangi Kantor Kementerian BUMN. Saat itu, Ahok mengaku diajak mengelola salah satu BUMN. Isu yang beredar, PLN atau Pertamina.

Menteri BUMN Erick Thohir menyebut sosok yang kini lebih beken dipanggil BTP (Basuki Tjahaja Purnama, Red) sebagai sosok pendobrak. BTP diyakini bisa mempercepat kerja BUMN sebagaimana arahan Presiden. Namun, belum ada rincian posisi dan BUMN mana Ahok bakal ditempatkan.

Gejolak langsung terlihat. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) langsung merespon dengan suara keras. Mereka menolak apabila Ahok masuk menjadi direksi atau komisaris Pertamina.

BACA JUGA: Pak Ahok, Kalau Pimpin BUMN Mobilnya Land Cruiser atau Wrangler?

Rekam jejak dan perilaku Ahok yang dinilai selalu membuat keributan dan kegaduhan di mana-mana jadi sorotan. Ucapan-ucapan bernada kotor juga disorot Presiden FSPPB Arie Gumilar.

"Bisa dibayangkan kalau yang bersangkutan masuk ke Pertamina kemudian ada kegaduhan di tubuh organisasi perusahaan, maka ini akan berdampak pada pelayanan distribusi energi kepada masyarakat di seluruh pelosok negeri menjadi terganggu," ujarnya.

UU No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara mengatur hal itu. Highlight-nya Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 57 ayat 1. Di situ disebutkan bahwa yang dapat diangkat sebagai anggota direksi dan anggota dewan pengawas adalah orang yang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara.

Ahok memang pernah dipenjara dua tahun. Dia ditahan lantaran kasus penodaan agama. Namun tindak pidana yang dilakukan Ahok tidak sampai menimbulkan kerugian keuangan negara.

Dalam pasal lain UU BUMN, disebutkan pula anggota direksi atau komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman, jujur, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan mengembangkan perusahaan. Kata-kata "perilaku yang baik" memang disebut bakal menjadi subjektivitas. Ini dinilai akan menimbulkan pro dan kontra mengingat Ahok sempat terjerat kasus penistaan agama.

Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai, seandainya Ahok benar-benar menjadi salah satu bos BUMN sektor energi sebagaimana rumor yang beredar, akan tetap menimbulkan kegaduhan. Dampaknya akan mengganggu kinerja menjadi tidak optimal.

BACA JUGA: Wacana Ahok Jadi Dirut BUMN, Anak Buah Prabowo Bilang...

"Yang ada terus gaduh. Jadi sebagus apapun kerjanya, akan terdeflasi dengan adanya kegaduhan, jadi tidak produktif. Orang yang bisa kerja profesional tanpa kegaduhan saja, itu belum tentu bisa menyelesaikan masalah. Apalagi orang yang belum jelas 'track record'-nya dalam menangani persoalan dunia usaha atau bisnis, walaupun ia pernah menjadi Gubernur DKI tapi 'track record"-nya dalam meng-"handle" korporasi belum pernah terbukti," ujar Enny saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Minggu (18/11).

Untuk menduduki jabatan penting di BUMN strategis seperti Pertamina dan PLN, menurut Enny, harus didukung kompetensi khusus. Alasannya, sektor energi bukan bisnis yang sederhana. 

Enny mengingatkan peristiwa padamnya listrik (blackout) beberapa bulan lalu. Baginya, itu bisa menjadi pengalaman betapa krusialnya pertahanan sebuah negara yang salah satunya ditentukan oleh pasokan listrik. 

"Itu butuh orang yang mengerti secara detil, jadi tidak sekedar bisa nyuruh-nyuruh dan 'organize' orang atau sebagai lpemimpin doang, tapi tahu persis persoalan transmisi, pasokan listrik dan sebagainya, dan itu tidak sembarang orang tahu. Walau dia kuliah di bidang itu, belum tentu juga tahu," kata Enny.

Latar belakang Ahok memang jurusan Teknik Geologi dari Universitas Trisakti. Namun, kompetensi dan rekam jejaknya di bidang energi belum teruji.

"Sektor strategis itu. Pertamina menjadi menjadi urat nadi perekonomian. PLN apalagi. Orang tidak bisa hidup tanpa listrik. Jadi bagaimana negara berspekulasi menyerahkan persoalan yang sangat krusial itu terhadap orang yang belum terbukti betul kompetensi dan "track record"-nya di bidang itu," ujarnya.

Pemilihan direksi atau komisaris BUMN, menurut Enny, bisa mengadopsi sistem meritokrasi yang diterapkan Singapura. Meritokrasi adalah sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi. 

"Kalau di luar negeri, di Temasek misalnya, itu orang yang independen tempatnya di komisaris. Temasek itu komisaris independennya lebih banyak karena fungsinya itu semacam Irjen di kementerian. Jadi mengevaluasi, monitoring, mengendalikan. Ia tidak punya kepentingan sehingga mengendalikan dan mengoreksi ia bebas dari kepentingan, beda dengan eksekutif karena ia harus mengeksekusi jadi yang utama sekali profesionalitas dan kompentensi," kata Enny. (ant)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Agus Purwanto

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co