GenPI.co - Akhirnya lebaran pun tiba. Namun, momen spesial tahun ini tak seperti biasanya, karena aku merayakannya bersama keluarga tunanganku.
Aku memang sudah kenal dengan keluarga besar tunanganku, tapi kali ini kami pergi ke rumah saudaranya yang ada di Bogor.
BACA JUGA: Gegara Sepak Bola, Mas Rizal Jadi Terpincut Janda Surabaya
“Aku sudah lama nggak ke rumah Om Toni yang ada di Bogor. Soalnya, dulu keluarga dia sempat bertengkar dengan Papa,” jelas Dani, tunanganku.
“Memang kenapa mereka berdua berantem?” tanyaku.
Percakapan ini terjadi saat kami buka puasa bersama dua hari sebelum lebaran. Saat itu, kami pergi ke kedai ramen di daerah Jakarta Selatan.
“Biasa, masalah warisan. Berantemnya itu cuma perkara pindah patok tanah warisan dulu. Jadi, Om Toni mau jual tanah warisan bagiannya, tapi geser patok tanah Papa, trus berantem,” jawab Dani.
“Hoo, ya wajar sih kalo Papa marah. Soalnya, kan itu hak dia,” kataku.
“Iya sih, bener. Cuma waktu itu drama banget, aku sampai ikutan pusing,” ujarnya saat itu.
Aku dan keluarga Dani berangkat ke Bogor dari rumah Dani dengan menggunakan mobil milik keluarganya.
Di perjalanan, aku diceritakan kembali konflik keluarga yang melibatkan Papanya Dani dan Om Toni.
“Kami akhirnya berbaikan saat istrinya Om Toni sakit awal tahun ini. Om datang ke rumahnya dan bantu Toni untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Semua biayanya juga Om yang urus biar tak begitu mahal,” papar Papanya Dani.
Setelah sejam perjalanan, kami pun sampai di rumah Om Toni. Keluarga Dani pun langsung bercengkrama karena sudah tak lama bertemu.
BACA JUGA: Si Pengantar Galon Bergerak, Aku yang Lemas! Astaga
Aku dan Dani membantu untuk membawakan beberapa bingkisan dan menu makanan yang sengaja disiapkan oleh Mamanya Dani.
“Ini Kiara, tunangannya Dani,” kata Mamanya Dani sembari mengenalkanku ke Om Toni dan istrinya.
“Halo Kiara. Sini sini bawaannya ditaruh di dalam aja langsung,” ujar istri Om Toni sambil mengajakku masuk ke rumahnya.
Istri Om Toni berjalan sambil tertatih. Mungkin kondisinya saat ini adalah akibat dari sakit yang dideritanya awal tahun ini.
Sesampainya kami di ruang makan, aku pun menaruh bingkisan yang kubawa di meja makan.
“Aduh, dus air mineralnya masih di atas lagi. Bentar ya, Kiara, Tante ke atas dulu,” kata istri Om Toni.
“Nggak usah, Tante. Biar Kiara aja yang ke atas. Tempatnya di mana tapi, Tante?” ujarku.
“Oh, itu di ruangan sebelah tangga, kok. Masuk aja ke situ, ruangannya gak dikunci, kok,” jawabnya.
Aku pun naik ke lantai atas untuk mengambil air mineral. Saat ingin masuk ke ruangan yang dimaksud oleh istri Om Toni, tiba-tiba seorang laki-laki berpapasan denganku. Dia baru saja keluar dari ruangan yang sama.
Kami berdua terdiam di depan pintu ruangan itu. Dia menatapku dan aku mau tak mau memperhatikan wajahnya.
Badannya yang tinggi dan tegap membuatku harus benar-benar melihat ke atas untuk melihat wajahnya yang ternyata sangat tampan.
BACA JUGA: Sukses Jadi Penari, Aku tak Pernah Lupa Beribadah
Wajahnya oval sempurna dengan tulang pipi yang tinggi. Rambut ikalnya terlihat masih acak-acakan seperti baru bangun tidur.
Tatapan matanya sangat tajam dan membuat wajahku memanas.
“Maaf, Mas. Aku mau ngambil air mineral di dalam situ,” ujarku setelah kesadaranku memulih.
“Oh iya, ambil saja,” jawabnya sembari masih menatap dalam mataku. Tengkukku mulai terasa panas dingin dan jantungku mulai berdebar.
“Iya, makasih, Mas. Misi ya,” ujarku sambil jalan masuk ke ruangan untuk mengambil dus air mineral.
Saat mengambil dus air mineral, aku masih merasa laki-laki itu masih memperhatikanku dari ambang pintu.
Saat berbalik badan, laki-laki itu ternyata sudah ada di belakangku.
“Makasih ya, Mas. Aku ke bawah dulu,” ujarku sambil membuang muka.
“Kamu kenapa kok gugup gitu?” tanya dia.
Aku tak menjawab pertanyaan itu dan langsung turun ke bawah.
Di bawah, aku langsung menghampiri Dani.
“Dan, Om Toni punya anak yang tinggal bareng?” tanyaku sambil berbisik.
“Dulu sih ada, cuma sudah meninggal beberapa tahun lalu. Sekarang ini mereka cuma tinggal berdua. Kenapa memangnya?” jawab Dani.
BACA JUGA: Sahur Berujung Petaka, Karena Mas Irvan Malah Minta...
Aku pun menelan ludah sambil berusaha untuk tak menunjukkan tanganku yang gemetaran.
Terbayang kembali tatapan tajam yang tadi sempat aku kagumi, tapi kini berusaha untuk kulupakan.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News