Aku dan Temanku Ngos-Ngosan Atur Posisi Pas Rumahnya Kosong

20 Mei 2021 14:42

GenPI.co - Teleponku bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Aku yang sedang tertidur sontak terbangun tiba-tiba, karena ternyata telepon genggamku tergeletak persis di sebelah kupingku.

Aku pun langsung mengambil telepon dan berusaha membuka mata yang masih perih. Aku pun menatap layar untuk melihat siapa orang yang tega membangunkanku.

BACA JUGA: Saudara Tunanganku Bikin Aku Panas Dingin! Dadaku Bergetar Hebat

Orang itu ternyata sahabatku, Karina.

“Halo, Rin. Kenapa? Masih jam 10 pagi ini,” ujarku langsung usai menggeser tombol terima telepon.

“Idih baru bangun ya, lo? Ini jam berapa Dio, buset deh,” jawabnya di seberang telepon.

“Iye iye, kenapa sih emangnya?” kataku.

“Ke rumah dong, gue mau minta tolong angkat-angkatin barang di rumah. Bokap gue lagi di luar kota, jadi bingung, nih. Ntar gue jajanin deh,” katanya.

“Korean BBQ, ya?” ucapku.

“Iya Dio ganteng. Buruan mandi,” jawabnya.

Usai mematikan telepon, aku pun bergegas bersiap-siap untuk ke rumah Karina.

Aku dan Karina sudah berteman dekat sejak SMP. Aku berhutang budi padanya, karena Karina adalah orang yang membantuku belajar mengendalikan emosi.

Saat SMP, aku adalah berandalan yang suka bertengkar dengan anak lain. Alasannya macam-macam, bisa karena bermain futsal atau hanya sekadar berargumen.

Suatu hari saat aku dan Karina kelas 8 SMP, kelasku bertanding futsal dengan anak kelas 9.

BACA JUGA: Silaturahmi ke Rumah Kekasih, Pulang Dapat Undangan Pernikahan

Awalnya, pertandingan berjalan damai. Aku juga sebenarnya bukan tipe orang yang akan duluan memancing perselisihan. Jadi, aku merasa pertandingan itu bisa berjalan lancar-lancar saja sampai selesai.

Tiba-tiba, salah satu anak kelas 9 dengan sengaja menjegal kaki temanku yang sedang berlari. Aku yang melihat langsung peristiwa itu langsung menyerang anak kelas 9 itu dengan makian kasar.

Anak kelas 9 itu pun tak terima dan langsung menghajar pipi kananku. Tak terima, aku membalas pukulan tersebut. Kami pun saling menghajar satu sama lain sampai badan dan wajah kami penuh luka.

Teman-temanku berusaha untuk melerai pertengkaran itu, tapi karena aku emosi, aku terus saja melayangkan tinju ke anak kelas 9 itu.

Salah satu temanku sampai teriak di kupingku agar aku tak lagi berniat memukul anak tersebut.

Saat sudah mulai tenang, aku pun duduk di pinggir lapangan. Teman-temanku berusaha untuk bermediasi dengan anak-anak kelas 9, jadi aku duduk sendirian di pinggir lapangan.

Tiba-tiba, Karina datang menghampiriku. Dengan muka datar, dia memberiku sebotol teh dingin kemasan.

“Kalau mau belain temen, jangan nyusahin temen juga. Pikirin cara lain, lah, biar masalahnya selesai tanpa nimbulin masalh baru. Liat tuh, temen lo mediasi jadinya sekalian belain lo yang mukulin anak orang,” kata Karina saat itu, lalu dia pergi begitu saja tanpa menoleh ke belakang lagi.

Usai kejadian itu, kami berdua jadi berteman dekat, bahkan sampai hari ini.

Sesampaiku di rumah Karina, aku pun langsung memanggil namanya dari depan pagar. Tak lama berselang, Karina muncul dari dalam rumah.

“Mau angkat-angkat apa sih emangnya?” tanyaku langsung ke Karina.

“Sofa. Pindahin dong dari ruang tamu ke ruang keluarga. Nyokap mau ada arisan soalnya, biar luas buat duduk di lantai gitu,” ujarku.

Aku pun mengangguk dan masuk ke rumah Karina.

“Loh, kok sepi kayaknya?” kataku sambil duduk sebentar di sofa yang hendak dipindahkan.

“Iya, nyokap sama adek gue lagi beli makanan buat acaranya. Jadi ya, cuma gue di rumah. Lo bayangin aja kan nggak mungkin gue ngangkat sofa sendirian,” ujarnya.

“Serius nggak apa-apa ini rumah kosong, trus kita cuma berdua?” tanyaku.

“Nggak apa-apa, lah. Emangnya kita mau ngapain? Ayo angkat bareng sofanya,” jawabnya.

Kami berdua pun mengambil posisi masing-masing untuk mengangkat sofa dan memindahkannya. Sayangnya, sofanya cukup berat, jadi kami berdua terengah-engah.

“Berat amat sofanya. Nggak apa-apa deh demi makan daging,” kataku dengan napas tersengal-sengal.

Kami berdua akhirnya berhasil memindahkan sofa ke ruang keluarga. Kami berdua pun langsung menghempaskan diri ke sofa karena kelelahan.

Aku pun melihat ke arah Karina, dahinya basah karena keringat berjatuhan.

“Capek banget, bu kayaknya?”

“Iyalah pokoknya abis ini gue mau makan enak,” jawab Karina.

Saking lemasnya, kami tak bergerak dari posisi kami di sofa sampai hampir setengah jam.

“Udahan dong, lemesnya. Ayo cari yang enak-enak,” ajakku sambil menyolek lengan Karina. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Landy Primasiwi

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co