GenPI.co - Bapak tampak murung saat menumpahkan isi dompetnya ke lantai yang tak berkeramik.
Bunyi kerincing-kerincing memekik memenuhi ruangan 3×2 tempat kami tinggal.
"Walau tinggal recehan, ini kayaknya masih cukup buat modal jualan nanti malam," kata bapak.
Aku hanya menghela napas dan tersenyum melihatnya. Hanya itu cara untuk menunda air mata jatuh.
Aku menawarkan diri membeli bahan-bahan untuk membuat jahe susu ke pasar.
Selanjutnya, kami sama-sama meracik susu jahe untuk di jual malam nanti.
Alhamdulillah, bahan-bahan tadi bisa mengisi setengah wadah milik bapak.
Kalau laku, besok mungkin kami bisa mengisi penuh. Kalau kembali laku, kami mungkin bisa sedikit menyimpan uang untuk keadaan darurat yang tidak pasti.
Aku dan bapak lalu mendorong gerobak bergantian ke alun-alun kota. Di sana, biasanya ada banyak orang berkumpul.
Walakin, di tengah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4, aku tidak yakin akan seramai biasanya.
Benar saja, orang-orang yang ada di alun-alun sedikit, hanya hitungan jari. Mungkin lebih banyak pedagang kaki lima dibanding pembelinya.
Satu gelas tersaji, lanjut ke gelas kedua, dan ketiga. Aku pikir, itu jadi yang terakhir.
Sudah dua jam, dan hanya laku tiga. Sebentar lagi pukul 20.00 WIB.
Rombongan berseragam sebentar lagi datang mengusir aku dan bapak.
"Sudah mulai sepi, apa tidak pulang saja, Pak?" kataku.
Bapak menggeleng, matanya menatap motor yang lalu lalang di depannya.
Mungkin, bapak berharap ada satu atau dua sepeda motor yang berhenti dan membeli susu jahe milik kami.
Firasatnya kali ini tidak salah. Satu orang datang ke gerobak kami memesan satu gelas dan memintanya dibungkus.
"Jahe bisa buat covid-19 katanya ya, Mas? Anakku lagi isoman di rumah," kata pembeli.
Aku tidak menjawab pertanyaan itu dan hanya terdiam.
"Insya Allah, Pak. Paling enggak buat anget-anget badan, ya. Ini bawa saja enggak perlu bayar," kata bapakku.
Aku sempat bertanya soal kondisi anak dari pembeli tadi. Dia hanya menjawab singkat: sehat, ah, covid-19 itu, enggak berbahaya.
Aku mengernyitkan dahi. Lebih dari satu tahun sejak pandemi pertama kali merebak dan ucapan pejabat di awal 2020 itu masih diamini masyarakat.
Usai pembeli keempat itu, suara sirine meraung dari kejauhan.
Itu tanda waktu aku dan bapak mencari uang telah habis.
Tuhan memberi waktu satu hari 24 jam. Akan tetapi, pemangku jabatan mengorupsinya hanya sampai pukul 20.00 WIB.
"Yuk," kata bapak.
Aku lantas mulai mempersiapkan gerobaknya.
Hari ini laku empat gelas, besok mungkin tidak sama sekali dan harus gulung tikar.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News