GenPI.co - Aku termasuk cewek sangat beruntung karena memiliki pacar yang selalu mendukung.
Namaku Lina. Kekasihku bernama Dani. Kami sudah berpacaran selama tiga tahun.
Kami sama-sama perantauan. Kami mengadu nasib dan mengejar mimpi di Jakarta.
Kisah cinta yang kami alami cukup lucu. Kami berkenalan ketika sama-sama menunggu ojek online sepulang bekerja.
Kantorku dan tempat bekerja Dani memang satu gedung, tetapi beda perusahaan.
Aku bekerja di perusahaan keuangan. Dani merintis karier di perusahaan pertambangan.
Saat itu kami mengobrol pendek. Namun, entah kenapa aku merasakan kenyamanan.
Dani pun sepertinya merasakan hal yang sama. Kami akhirnya bertukar nomor telepon.
Setelah itu kami intens berkomunikasi. Empat bulan setelahnya Dani memintaku menjadi pacarnya.
Aku menerimanya dengan hati terbuka. Menurut Dani, aku adalah wanita yang diidam-idamkannya.
Aku merasa ucapan Dani hanyalah gombalan. Namun, di dalam hati aku merasa sangat senang.
Dani selalu mendukung apa pun kegiatan positif yang aku lakukan. Begitu juga aku.
Aku tidak pernah melarang Dani bermain futsal setelah bekerja. Aku juga tidak merecoki hobi Dani mengoleksi komik.
Dani pun segendang sepenarian. Dia tidak mempermasalahkan aku yang getol minum kopi. Dalam sehari aku bisa minum tiga cangkir kopi.
“Apa pun yang kamu lakukan, asal positif dan nggak ngerugiin orang lain, aku nggak apa-apa,” kata Dani.
Dani juga sangat mendukung ketika aku mengambil kelas zumba. Dia malah senang.
“Hitung-hitung buat ngimbangin kamu yang suka minum kopi,” ujar Dani.
Sebelum pandemi melanda, aku les zumba di kawasan Jakarta Selatan. Namun, setelah ada pandemi, aku mengikuti les secara virtual.
Dani benar-benar mendukungku. Dia sering mengantarkanku ke tempat latihan. Dani pun sering menunggu hingga aku selesai berlatih.
Setelah itu, biasanya kami makan di warung langganan kami. Aku bisa lahap memakan nasi goreng di warung itu.
“Sama aja, kan, ya? Habis zumba langsung makan nasgor,” ujarku.
Dani hanya tertawa.
“Daripada nggak makan? Kalau kamu sakit, siapa yang nyakitin aku?”
“Ihhhh. Kapan aku nyakitin kamu?” aku mencubit lengan pacarku.
Dani meringis. Salah satu hal yang disukai Dani ialah melihat videoku bergoyang zumba.
Dia lantas membandingkannya dengan video yang ada di YouTube. Dani benar-benar sok mengerti.
“Kamu kurang kencang goyangnya. Kalau perlu, kamu sambil guling-guling,” kata Dani.
“Yeee. Ntar dikira kesurupan. Gimana goyanganku?”
“Mantap banget. Udah layak jadi instruktur,”
“Nggak, ah. Masih kaku. Belum luwes,”
“Udah, kok. Serius. Minimal instruktur lumba-lumba,” Dani tertawa ngakak.
Dia tampak sangat bahagia. Aku langsung menginjak kakinya. Dani mengaduh sampai meminta ampun. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News