Kisah Merantau ke Jakarta: Ternyata Keras, Tak Seperti Film Cinta

19 Agustus 2021 17:25

GenPI.co - Dulu, saat kamu masih menjadi wanita satu-satunya yang ku cintai, Jakarta adalah harapan. Harapan untuk memiliki hidup yang lebih baik. Harapan untuk bisa menemuimu setiap waktu.

Akan tetapi, Jakarta selalu punya cara untuk memutarbalikan segala keromantisan.

Yang dianggap satu-satunya selalu tak berarti satu. Dia bisa saja punya angka dua dibelakangnya atau angka tiga lagi setelahnya.

BACA JUGA:  Pengamat Bongkar Strategi Megawati Jelang Pilpres, Dahsyat

Namun, tekadku sudah bulat. Aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta usai menyelesaikan kuliah. Aku ingin tinggal di mana kau juga tinggal di sana.

Bukan hal mudah, aku tahu kota ini keras. Akan tetapi, janji adalah janji dan itu harus ditepati.

BACA JUGA:  Pernyataan JK Bahaya, Tolong Hentikan

"Nanti sehabis kuliah, kamu cari kerja saja di sini, ya, biar deket," katamu.

Kalimat itu kemudian jadi cambuk untukku berjuang di kota orang. Sampai di kota ini, aku dihadapkan pada jalan raya yang tak pernah sepi dari bising kendaraan.

BACA JUGA:  Kata Dokter Boyke, Cukup 15 Menit Langsung Joss

Meski aku tahu, di tengah keramaian ada banyak jiwa yang sepi dan kosong. Sesampainya di kota ini, aku sengaja tak memberi tahu kamu.

Aku ingin memberikan kejutan. Berbekal nama kantor yang dulu sempat kau sebut, aku menuju ke tempat itu saat jam-jam pulang kantor.

Jakarta masih panas meski waktu sudah sore. Aku duduk di depan warung kelontong di depan kantormu.

Aku pandangi pintu masuk yang dijaga satpam berbaju mirip aparat berwarna cokelat.

Aku lihat, seorang laki-laki dengan kemeja necis membuka pintu itu dan menahannya, tak lama kemudian disusul oleh seorang wanita berampuk bondol.

Wanita itu, yang berambut bondol, aku tahu persis. "Itu Chika (pacarku)," batinku

Pikiranku melayang, kenapa dia pulang bersama pria itu. Kenapa mereka naik mobil yang sama. Kemana mereka?

Aku pun memesan ojek pengkolan untuk membuntuti mobil mereka. Ternyata, mereka menuju sebuah hotel. Lututku lemas, aku langsung mencoba mengirim pesan WhatsApp

"Kamu lagi di mana?" kataku

"Di kantor, kayaknya lembur. Kamu udah pulang," katanya.

Aku tak tahu apa yang dimaksud dengan lembur. Akan tetapi, harusnya ia menambah pundi-pundi uang, bukan pundi-pundi sakit hati. Hidup di Jakarta keras, tak seperti film cinta.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Cahaya Reporter: Chelsea Venda

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co