GenPI.co - Malam itu, aku dan pacarku sedang merayakan tanggal jadian dengan liburan ke alun-alun kota.
Aku dan pacarku sungguh senang sekali, hubungan romantis yang kami jalin bisa berjalan hingga satu tahun.
Berbagai suka duka sudah kami lalui bersama.
"Ingat, enggak dulu kamu nembak aku di sini," kata dia.
Aku mengangguk. Tempat ini memang menjadi saksi bisu kisah cinta kami.
Oleh karena itu, tempat ini pula yang kami pilih.
Kami lantas bernostalgia dengan mengelili tempat ini.
Sambil bergandengan dan bercanda soal masa-masa awal jadian, kami bak dua orang paling bahagia di dunia ini.
Hingga momen itu pun tiba, saat sedang berjalan-jalan aku memanggil nama pacarku.
"Iya, sayang. Ada apa manggil-manggil?" Jawabnya.
"Aku suka manggil kamu. Manggil nama ibu dari anak-anak," kataku.
Ya, gombalan-gombalan receh itu sering kali sukses membuat senyum tipis keluar.
Kadang kala bukan senyum tipis, melainkan bibir manyun karena gombalanku sering cringe.
Namun, dia tetap menyayangiku.
"Sayang, inget enggak dulu aku pernah nyoba permainan itu?" katanya.
Pacarku menunjuk orang yang sedang berjalan menuju dua pohon beringin dengan mata tertutup.
Iya, di alun-alun ini ada juga permainan demikian.
Konon katanya, jika mampu berjalan dengan mata tertutup dan masuk ke area tengah, orang tersebut bisa dibilang suci dan bersih hatinya.
"Aku mau coba lagi," katanya.
Dia pun menghampiri peminjam ikat kepala untuk menutup kedua matanya.
Pacarku pun berjalan perlahan mendekat ke arah dua pohon beringin.
Sayangnya, kali ini langkahnya berbelok sendiri.
Saat matanya dibuka, dia langsung menjerit tak percaya.
"Sayang, aku enggak suci lagi, ya?" katanya.
Aku hanya memeluknya dan menenangkannya.
Sebab, ini hanya permainan dan soal mitos boleh percaya boleh tidak.
"Ambil yang baik dan buang yang buruk. Jangan terlalu dipikirkan sayangku," kataku.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News