Jalangkung Malam Jumat, Kengerian yang Mencekam

30 Desember 2021 23:25

GenPI.co - Malam terasa sangat dingin. Rasanya tidak seperti biasanya. Rintik hujan membuat malam makin mencekam.

Petir bersambaran. Aku meringkuk di kamar bersama temanku, Tama dan Rendi. Mereka tidak bisa pulang dari indekosku.

Hari ini Kamis. Malam Jumat. Aku tidak peduli anggapan orang-orang yang menyebut malam Jumat sangat keramat.

BACA JUGA:  Sosok Tanpa Tubuh Nyata di Museum, Seram

Toh, aku sudah terbiasa hidup dalam kemuraman. Ayahku meninggal saat aku masih kecil.

Ibuku meninggal saat aku kelas 4 SD. Aku hidup bersama nenekku. Tanpa kasih sayang orang tua.

BACA JUGA:  Ketua DPRD DKI Prasetyo Geram, Ancol Siap-siap Saja

Aku hanya bisa memandang dengan kelu ketika teman-temanku bermain dengan orang tuanya.

“Wawan, mau ngapain kamu?” tanya Tama.

BACA JUGA:  Kekuatan Seram Thailand yang Harus Diwaspadai Timnas Indonesia

“Nggak apa-apa. Santai aja,” kataku, lalu menata kain sesuai keinginanku.

Tama dan Rendi masih menatapku. Mereka mulai mengerti saat aku mengambil batang kayu.

“Wan, kamu gila, ya?” ujar Rendi. Dia berusaha membuang benda yang kupegang.

“Terus kita mau ngapain di sini? Nggak ada apa-apa juga,” ujarku.

Kamarku memang minimalis. Nyaris tidak ada benda berharga. Satu-satunya barang berharga hanya komputer.

Selebihnya cuma barang-barang yang pencuri pun enggan mengambilnya.

Tama dan Rendi terus mencoba menahanku. Rendi bahkan mencengkeram tanganku dengan sangat kuat.

“Udah nggak apa-apa,” ujarku.

Tama menghalangiku. Rendi membantu Tama. Entah kenapa tenagaku terasa lebih kuat dibandingkan mereka.

Aku menatap mereka dengan tajam. Ada keyakinan di mataku. Tama dan Rendi tiba-tiba luluh.

Mereka langsung mengikutiku. Rendi dan Tama menuruti keinginanku. Aku segera menata benda-benda yang sudah kupegang.

Kutata dengan sangat rapi. Kain putih kubungkuskan sebagai pakaian. Batang kayu kubuat menjadi badan.

Aku membuat jalangkung. Kutata sedemikian rapi. Tidak berselang lama semuanya sudah selesai.

Kami duduk melingkari jalangkung. Aku sebenarnya hanya iseng. Aku juga tidak tahu rapalan apa yang harus kubaca.

Aku hanya tahu sekilas mantra-mantra untuk membangunkan jalangkung.

Kubaca mantra itu berulang-ulang. Tidak ada gerakan apa pun. Kubaca lagi. Tiba-tiba jalangkung bergerak.

Aku tersenyum tipis. Tama dan Rendi menatap jalangkung itu. Aku terus memainkannya.

Tiba-tiba Rendi tumbang. Tubuhnya ambruk. Tama langsung mencoba nolong Rendi. Aku membuang jalangkung yang kupegang.

“Wan, bawa ke atas kasur,” kata Tama. Aku dan Tama mengangkat tubuh Rendi.

Tubuh Rendi memberontak. Tenaganya sangat kuat. Tangannya mencengkeram lenganku. Rasanya sangat perih.

“Ren… Ren,” Tama mencoba menyadarkan Rendi. Rendi masih memberontak.

Aku menoleh ke jalangkung yang kubuat. Aku merasa jalangkung itu menatapku dengan seram.

“Wan, kamu harus tanggung jawab,” ujar Tama. Aku juga bingung. Aku harus melakukan apa?

“Jaga dia, Tam,” aku langsung berlari keluar. Kuterobos gerimis. Tidak berselang lama aku kembali.

Aku bersama Pak Ridho. Dia ustaz di sekitar wilayah tempatku tinggal. Pak Ridho sempat mengucapkan salam sebelum masuk kamarku.

Pandangannya langsung tertuju ke jalangkung yang kubuang ke pojokan kamar.

Pak Ridho memintaku mengambil segelas air. Dia merapal doa, lalu memintaku meminumkannya kepada Rendi.

Rendi masih memberontak. Tangan Tama terlihat lebam. Pak Ridho mengusap kening Rendi.

Dia melakukannya beberapa kali. Sejurus kemudian Rendi mulai tenang, lalu benar-benar lunglai.

Tama masih ketakutan. Aku kebingungan. Pak Ridho menatapku. Tatapannya menguliti.

“Hati-hati, Nak,” kata Pak Ridho. Tidak berselang lama dia pulang sembari membawa jalangkung yang kubuat. (*)

 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Ragil Ugeng Reporter: Panji

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co