GenPI.co - Kisah yang kualami sangat konyol. Aku benar-benar malu di depan pacarku, Dewi.
O, iya. Namaku Rendra. Aku kuliah di salah satu kampus di Jakarta. Aku dan Dewi sudah berpacaran tiga tahun.
Kami teman sekampus. Dia di jurusan akuntansi, aku di hubungan internasional.
Aku berasal dari Semarang. Hubunganku dan Dewi berjalan seperti umumnya orang berpacaran.
Sebelum pandemi melanda, kami masih sangat sering meluangkan waktu Bersama.
Entah sekadar berjalan-jalan ataupun hanya nongkrong di coffee shop. Sejak pandemi datang, intensitas pertemuan kami berkurang.
Peristiwa memalukan yang kualami terjadi di Puncak, Bogor. Saat itu aku dan teman-temanku menyewa vila di sana.
“Kamu ikut, ya,” aku mengajak Dewi.
Awalnya, Dewi ogah ikut. Dia sungkan. Namun, dia akhirnya bersedia ikut setelah kuberi penjelasan.
Teman-temanku juga mengajak pacar-pacarnya. Kami saling mengenal satu sama lain.
Sebenarnya tidak ada persiapan khusus yang harus kami lakukan. Toh, kami cuma ke Puncak yang jaraknya tidak terlalu jauh.
Namun, kami tetap berusaha all out. Kami menyiapkan beberapa agenda agar menginap di vila menjadi lebih seru.
Kami berbagi tugas. Aku membeli jagung. Dean membeli daging. Toni mempersiapkan camilan.
Ari bagian konsumsi berat. Kami, para cowok, hanya berempat. Cewek-cewek? Mereka kami jadikan seperti ratu.
Mereka tidak kami beri tugas apa pun. Hari menginap tiba. Kami tiba di vila sekitar pukul satu siang. Cuaca cukup bersahabat.
“Mau renang?” tanya Dean.
“Nggak, ah. Ngopi dulu,” ujar Toni.
Aku dan Ari rebahan di sofa. Para cewek di kamar. Malam harinya, kami mengadakan api unggun.
Kami membakar jagung dan daging. Toni sudah menyeduh kopi. Harus kuakui kopi buatannya memang enak.
Kami bernyanyi diiringi petikan gitar Toni. Aku memeluk Dewi. Sangat erat. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku.
Tiba-tiba peristiwa memalukan terjadi. Saat aku berdiri, celanaku robek. Pas di jahitan tengah. Bunyi robekan sangat keras.
Teman-temanku dan Dewi menatapku. Mereka langsung tertawa. Aku menutup celanaku.
“Sial,” ujarku.
Mereka masih tertawa. Tawa mereka sangat keras. Aku bingung karena hanya membawa satu celana pendek.
Celana teman-temanku juga tidak ada yang muat di badanku. Teman-temanku juga tidak ada yang membawa sarung.
“Udah pakai ini saja,” Ari melemparkan selimut.
Aku tidak punya pilihan lain. Malam itu aku terus menutup bagian bawah tubuhku dengan selimut sampai kami pulang. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News