GenPI.co - Selalu ada momen-momen pertama di dunia ini yang harus dihadapi manusia dalam hidupnya.
Sayangnya, tak semua momen pertama berisi keindahan.
Tahun ini aku harus menghadapi Ramadan pertama tanpa ayah.
Lima bulan yang lalu, ayahku telah berpulang ke Tuhan Yang Maha Esa.
Aku begitu sedih, tetapi ayah tentu tak ingin anaknya menangisinya.
"Dik, ayo nyekar ke makam ayah," ucapku kepada adikku.
Hari ini aku dan adikku akan ziarah ke makam ayah.
Ya, semacam tradisi keluarga kami menjelang Ramadan.
Kami membawa bunga-bunga segar dan kendi berisi air.
Di makam ayah, aku dan adik langsung mencabuti rumput-rumput kecil yang mulai tumbuh.
Aku membayangkan diriku sedang mencabuti uban ayah yang mulai tumbuh.
Aku mengelus batu nisan bertuliskan tanggal paling sedih yang pernah kulihat.
"Dulu, sewaktu ibu memarahiku, aku langsung menuju meja kerja ayah dan memeluknya. Ya, dia mengelus kepalaku untuk menenangkanku," batinku berbisik.
Aku dan adikku lantas mendoakan ayah di samping makamnya.
"Ayah, semoga bahagia di sana. Ayah lagi apa di sana? Ayah doakan kami, ya," ucapku lirih.
Usai berdoa, aku memandangi makam itu lebih lama dari biasanya.
Kami belum beranjak dan ingin menikmati momen tersebut lebih lama lagi.
Di momen itu, pikiranku melayang jauh.
Aku teringat saat ayah memasak makanan sahur untuk kami.
Dia begitu bersemangat saat membangunkan kami yang masih mengantuk.
Rasa makanannya biasa-biasa saja dan kadang kami tak menghabiskannya.
Namun, ayah selalu bercerita soal ayam tetangga yang tiba-tiba mati kalau ada anak yang tidak menghabiskan nasi di piringnya.
"Ayah, tidak ada yang memelihara ayam di rumah ini," ucapku.
"Oh, jangan-jangan ayam tetangga mati gara-gara anakku ini, ha ha ha," katanya.
Aku pun jadi tidak enak hati.
Aku merasa bersalah sudah membuat ayam tetangga yang tidak tahu apa-apa mati karenaku.
Ayah memang pintar sekali membuat anaknya menghabiskan sepiring makanannya.
Tak terasa air mata menetes dari mataku.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News