GenPI.co - Perkenalkan, namaku Ragil Kurniawati. Aku akan membagi kisahku menjalani Ramadan di Istanbul, Turki.
Tahun lalu, aku menghabiskan Ramadan bersama keluarga di Klaten, Jawa Tengah. Namun, saat ini aku harus sahur dan berbuka sendiri di Turki.
Keberadaanku di Turki ini untuk melanjutkan pendidikanku. Aku menempuh pascasarjana di Marmara University Istanbul.
Menjalani puasa di negeri orang tentu menjadi hal baru yang menyenangkan. Namun, aku harus melakukan beberapa penyesuaian di sini.
Salah satunya yakni berpuasa selama 17 jam lamanya. Hal itu tentu sangat jauh berbeda dengan di Indonesia yang hanya 13 jam.
Tak hanya itu. Bulan puasa di Turki tahun ini bertepatan dengan musim panas.
Hal itu membuat puasa jadi lebih berat. Haus dan lapar begitu terasa saat melakukan aktivitas.
Letak indekosku menuju kampus juga cukup jauh. Perlu jalan kaki cukup jauh untuk menaiki transportasi umum.
"Panasnya cuaca tidak akan menggoyahkan imanku untuk berpuasa," kataku dalam hati.
Di sisi lain, aku sangat bersyukur bisa berpuasa di Turki. Sebab, 99 persen penduduk di sini ialah umat Muslim.
Penduduk setempat sangat hangat dengan orang baru. Aku merasa diterima berada di sekitar masyarakat Turki.
Namun, aku sangat merindukan makanan dan takjil di Indonesia. Butuh usaha yang lumayan untuk menemukan makanan Indonesia di sini.
Perihal rindu, aku sering kali memutuskan untuk video call keluarga di rumah saat berbuka puasa. Perbedaan jam tak akan menghalangi rinduku kepada keluarga.
"Aku merasa bahagia, bisa buka puasa bersama sekalipun hanya virtual," ujarku dalam hati. (Kisah Ramadan di Turki, seperti yang dituturkan Ragil Kurniawati kepada GenPI.co)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News