GenPI.co - Perkenalkan namaku Astrid. Aku sudah berhubungan dengan Mas Fian selama lebih kurang dua tahun.
Mas Fian memiliki kepribadian yang sedikit buruk dalam hal mengatur emosinya.
Meski demikian, aku tetap menyayanginya dengan sepenuh hati. Itu mungkin menjadi alasanku tetap bersamanya ketika Mas Fian berlaku kadar kepadaku.
Ya, tidak sesekali aku mendapat luapan marahnya ketika ada masalah di kantornya.
"Kamu tahu nggak rasanya jadi aku yang disuruh-suruh kayak gitu?" kata Mas Fian waktu itu.
"Iya. Aku berusaha untuk mengerti, kok. Namun, kenapa nadamu meninggi?" tanyaku.
"Kan, aku memang begini orangnya. Kamu nggak suka? Ya, sudah putus saja," sahutnya.
Mendengar permintaan putus kerap terlontar, meski memang tidak pernah terjadi.
Sebab, aku selalu mencoba menenangkan dia ketika mengucap kata putus.
Aku biasa mengejarnya ketika memang ada emosi yang keluar dari Mas Fian.
"Sabar, Mas. Nggak seharusnya putus, kan? Aku mengerti, kok. Namun, aku juga nggak mau putus," kataku.
"Kalau nggak mau, dengerin saja kenapa, sih, harus tanya," jawabnya.
Setelah beberapa saat, emosi Mas Fian akhirnya memudar ketika aku memilih untuk diam.
Ketika aku sudah diam, Mas Fian biasanya langsung minta maaf kepadaku karena sempat emosi.
Selain itu, aku juga merasa tidak berdaya ketika Mas Fian mulai membujuk dengan permintaan maafnya.
"Maaf jika aku tadi marah-marah sama kamu. Kita bisa terus bersama, kan?" ucapnya.
"Hmm, iya," sahutku.
Ya, memang aku sungguh lemah meski kerap mendapat permainan kasar dari pacarku.
Oleh karena itu, aku akhirnya menikah dengan Mas Fian meski semua perlakuan kasar masih kuterima.
Namun, aku meminta Mas Fian agar mengurangi emosinya ketika berada di sebelahku dan orang tua kami. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News