GenPI.co - Perkenalkan, namaku Margaretha. Panggil saja aku Etha. Aku baru saja lulus kuliah dari salah satu universitas negeri di Yogyakarta.
Dua bulan lalu aku baru saja diterima kerja di perusahaan startup di Ibu Kota.
Ini cerita pertamaku saat pertama kali merantau di kota yang sangat besar.
Ibu dan ayah saat mendengar aku diterima kerja, terlihat raut wajah yang bahagia dan takut.
"Ibu takut, nduk. Di Ibu Kota marak kejahatan," kata ibuku kala itu.
"Tenang, buk, pak. Etha bisa menjaga diri," jawabku menenangkan kedua orang tua.
Singkat cerita, aku datang ke Jakarta untuk bekerja. Hal pertama yang aku kerjakan adalah mencari indekos yang pas.
Akhirnya, aku menemukan tempat yang menurutku sudah nyaman, aman, dan dekat dari kantor.
Namun, sebulan aku tinggal seorang diri, perutku terasa mual dan badanku panas. Mungkin, aku tidak keluar kamar selama 24 jan.
Tidak ada yang tahu kalau aku sakit. Tiba-tiba, bapak kos dan istrinya mengetuk pintu kamar.
"Mbak, mohon maaf ada masalah tidak? Karena sudah seharian tidak ada aktivitas," tanya ibu kos.
"Ini, buk. Perut saya mual dan sepertinya saya demam. Jadi, saya lemas sekali," jawabku.
Tidak lama setelah percakapan itu, bapak kos langsung menyodorkan tangannya.
"Ini, mbak, pisang dan beberapa buah jeruk untuk kebutuhan vitamin," sahut bapak kos.
Bapak dan ibu kos rupanya sengaja berkunjung untuk memberikan buah pisang dan jeruk.
Selama dua bulan aku hidup sendiri sebagai perantau, rasanya sosok orang tua tergantikan oleh mereka.
Mereka orang yang sangat baik. Di tempat aku kos, ada delapan wanita. Kami semua setiap pagi diberikan roti dan selai di meja makan.
Mungkin, kebaikan pemilik kos seperti ini masih sulit ditemukan di mana pun. Aku makin bersyukur. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News