GenPI.co - Perkenalkan, namaku Dea. Sudah empat tahun aku menjalani hubungan dengan kekasihku, Januar.
Sejak duduk di bangku kuliah semester akhir, dia berjanji akan menikahiku usai kami masing-masing memiliki pekerjaan tetap.
Akhirnya, waktu itu tiba. Dua bulan sebelum empat tahun hubungan kami, Januar datang bersama dengan keluarganya ke rumahku.
Hari ini aku tidak memiliki perasaan apapun yang mungkin akan mengejutkanku. Sebab, pertemuan keluarga ini sudah sering terjadi, bahkan hanya sekadar untuk silaturahmi.
"De, coba duduk sini dulu," kata Ibu memanggilku sambil menepuk sofa di sampingnya.
"Kenapa, Bu?, tanyaku, sambil mendekat pada ibu.
"Gini, setelah empat tahun hubungan kalian, Januar minta izin sama ibu untuk melamar kamu, ibu setuju, tapi semua kembali lagi sama kamu, apa kamu siap dan mau," ungkap ibu, sambil memegang kedua tanganku di pangkuannya.
"Ibu, terima kasih atas restu itu," ucapku sambil membendung air mata.
Tidak lama setelah lamaran itu, aku dan Januar segera mempersiapkan acara pernikahan kami, yang akan digelar dua bulan lagi.
Aku berharap semuanya akan berjalan dengan lancar. Namun, harapanku sebatas angan saja.
Semua kebusukan Januar terungkap beberapa hari menjelang hari pernikahan kami. Dia berselingkuh dengan perempuan satu indekosnya.
Sangking kesalnya, amarah ini berubah menjadi benci. Hubungan empat tahun yang kami jalin selama ini tidak ada apa-apanya bila ini akhirnya.
Daripada aku harus memaafkan seorang pria yang tukang selingkuh, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan sebelum acara pernikahan.
Tubuhku gemetar, sulit bagiku untuk bisa percaya omongan pria dalam waktu dekat ini. Bahkan, rasanya aku lebih baik hidup sendiri saja dari pada harus menderita lagi. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News