GenPI.co - Namaku Friyan Adi. Aku bisa dipanggil Adi oleh keluarga dan teman-teman kampusku.
Ya, aku kini masih kuliah di salah satu universitas swasta favorit. Meski demikian, aku sebenarnya tidak begitu menyukai tempat kuliahku ini.
Sebab, aku kuliah di sini karena terpaksa diminta orang tua. Aku pun sering mengadu ke tanteku, Hani.
Tante Hani ialah adik dari ibuku. Kami cukup dekat karena usia yang tidak jauh berbeda. Dia dua tahun lebih tua daripadaku.
Jadi, kami kerap berbagi pandangan tentang apa pun yang sekiranya bisa dibahas.
Aku bahkan kerap cerita soal gaya pacaranku dengan Tante Hani. Aku pun sebenarnya lebih suka memanggilnya Hani.
Toh, Tante Hani tidak keberatan dengan panggilan itu karena dia mengganggap masih muda.
"Sudah, lah, Di. Panggil Hani saja, kan, sekarang juga nggak ada acara keluarga," kata dia.
"Iya juga, sih, Hani sebetulnya lebih cocok daripada tante," sahutku bercanda.
Percakapan itu kami sering lakukan ketika berada di rumah Hani karena lebih santai.
Ya, Tante Hani kerap kosong karena kakaknya kerap keluar kota.
Kalau malas kuliah, aku biasa datang ke rumah Tante Hani membawa makanan kesukaannya, nasi bebek.
"Halo tante, eh, Han. Nih, aku bawain makanan," kataku.
"Apa, sih, Di. Kirain siapa?" sahutnya.
"Sini masuk, wah, jadi enak dibawain makanan. Kalau cuman sekali, nggak puas, ah," tambahnya.
"Yeh, harusnya lo bersyukur dong," kataku.
Setelah berbincangan itu, kami pun makan bersama di ruang tengah.
Suasana seperti biasa dengan candaan yang tidak jelas ke mana arahnya.
Namun, aku memanfaatkan hal itu agar tetap senang meski kuliahku berantakan.
Selain itu, Hani juga terlihat merasa senang karena belum bekerja setelah lulus.
"Lu ke sini jangan siang doang dong. Malem juga biar gue tetap kenyang," kata Hani menegurku.
"Yah, malah ngelunjak," kataku. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News