GenPI.co - Suara roda dan rel kereta api yang beradu selalu memenuhi kepalaku. Kenanganku dengan kereta api terikat sangat kuat.
Bagiku, setiap laju kereta api selalu membawa kisah cinta yang tidak bertepi. Romansa itu yang selalu membuatku rindu.
“Hati-hati, ya,” ujarku.
Pria itu memelukku. Dia mengusap keningku. Dia juga mencium lembut kepalaku. Ketenangan menjalari hatiku.
Aku menatap kepergian pria itu. Dia mengenakan seragam yang sangat pas dengan bentuk badannya.
Roda kereta terus melaju. Aku berdiri dengan kenangan yang membeku. Dia akan pergi, tetapi pasti kembali.
Suatu ketika aku sampai membeli kereta api mainan. Aku mengobati rinduku dengan mainan itu.
Orang-orang di rumah mungkin heran dengan kebiasaanku. Namun, aku belum bisa berpikir jernih.
Aku hanya bisa menautkan perasaanku ke kereta mainan itu. Perasaan bahagia selalu menguar setiap aku bermain dengan kereta tersebut.
Bayang-bayang pria itu selalu menancap di benakku. Aku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku selalu merindukannya.
“Kamu mau ke stasiun lagi?” tanya ibuku.
Aku mengangguk. Aku tidak perlu berpikir dua kali ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu.
Aku dan ibuku segera bergegas. Aku benar-benar bahagia. Bagiku, stasiun adalah tempat pertemuan dan perpisahan.
Bukankah hidup memang seperti itu? Ada perpisahan yang terkadang tidak kita inginkan.
Ada pertemuan yang bisa menghadirkan kebahagiaan meskipun tidak selalu bertahan lama.
Aku duduk di tempat yang agak jauh dari rel. Aku terus menengok setiap ada suara yang menandakan kereta segera melintas.
Kereta yang kutunggu tiba. Aku berdiri. Perasaan bahagia menusuk hatiku. Aku benar-benar senang.
Sesosok pria tegap keluar dari pintu kereta. Dia membetulkan letak topi dinasnya.
Dia mengambil tas, lalu berjalan dengan gagah. Dia mendatangi aku dan ibuku. Aku berlari menyambut pria itu.
“Ayaaaah,” aku berlari sembari berteriak. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News