GenPI.co - Perasaan rindu terhadap Roki terus menghantam dadaku. Aku sampai kepayahan menahannya.
Aku tidak pernah bisa menghapus bayang-bayang Roki dari pikiranku. Dia sangat spesial buatku.
Aku sudah sangat lama mencintai Roki. Aku menyimpan harap yang sangat besar. Namun, dia seperti selalu menghindar.
“Ki, aku kangen kamu,” aku menuliskan kalimat itu di HP.
Aku hendak mengirimkan kalimat itu kepada Roki. Namun, keberanianku luruh seketika.
Aku selalu tidak bisa menaklukkan ketakutanku. Aku selalu mempertaruhkan keberanian untuk menghubunginya.
Namun, sikapnya yang dingin selalu membuatku ragu. Aku sempat ingin mundur teratur. Aku ingin menghilang.
Apalah dayaku cuma bisa berangan-angan. Tekadku tidak kuat. Keinginanku terlalu lemah di hadapan perasaanku.
O, iya. Namaku Tiwi. Aku karyawati di perusahaan swasta di Jakarta. Aku sudah mengenal Roki sejak lama. Mungkin sudah empat tahun.
Selama itu pula aku mengerahkan semua usahaku untuk mendapatkan perhatian darinya.
Roki terkadang bisa sangat hangat. Namun, dia sering bersikap acuh tak acuh. Aku sampai bingung.
“Mau sampai kapan aku menunggu?” aku menuliskan kalimat itu di buku diary milikku.
Entah sudah berapa halaman yang kuhabiskan untuk mencurahkan isi hatiku. Semuanya tentang Roki.
Suatu ketika aku mendengar kabar Roki sudah memiliki pacar. Hatiku hancur berkeping-keping.
Tembok kekuatan yang kubangun hancur begitu saja. Namun, kabar itu ternyata tidak benar. Roki masih single.
Aku masih bisa mengais sisa-sisa reruntuhan kekuatanku. Aku memungutnya satu per satu.
Suatu ketika aku bisa merasa sangat senang. Penyebabnya sangat sederhana. Roki mengajakku makan malam.
Hal sederhana seperti itu sudah bisa membuat perasaanku melambung sangat tinggi. Namun, setelah itu aku bisa jatuh dengan cepat.
“Aku menunggumu. Aku tidak akan berpaling,” aku menuliskan kalimat itu di kaca. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News