GenPI.co - Namaku Haryo. Aku pekerja lepas. Aku ngekos di kawasan Jakarta Selatan. Keseharianku lebih banyak di depan komputer atau laptop.
Ada alasan kuat sehingga aku memutuskan menjadi pekerja lepas. Semuanya karena Dira.
Dia adalah cinta pertama dan terakhirku. Setidaknya sampai saat ini. Usia yang sudah menginjak 27 tahun ternyata tidak selaras dengan percintaanku.
Aku baru benar-benar merasakan jatuh cinta ketika bertemu Dira. Aku mencintainya sejak empat tahun lalu.
Saat itu, kami pernah terlibat proyek yang sama. Aku dan Dira sama-sama mengerjakan proyek dari vendor.
Awal perkenalanku dengan Dira pun sangat biasa. Kami hanya berkenalan sekadar basa-basi.
Obrolan kami pun hanya sebatas pekerjaan. Namun, setelah itu semuanya berubah. Aku mencintai Dira.
Entah suda berapa kali aku berniat mengajak Dira menjalani hubungan yang serius. Aku memintanya menjadi pacarku.
Dira selalu menolak, bahkan sampai saat ini. Dia lebih senang menjalani kesendiriannya.
Aku sadar diri. Aku mundur teratur. Namun, apakah perasaanku juga sirna? Tidak. Cintaku tidak pernah hilang.
“Mau sampai kapan?” tanya Eko, temanku.
“Nggak tahu. Kamu belum pernah mengalaminya, sih,” balasku.
Eko adalah orang kesekian yang menyarankanku meninggalkan Dira. Banyak orang yang sudah memintaku melupakannya.
Aku tidak bisa. Perasaanku terlalu kuat. Cintaku terlalu hebat. Aku harus mengakuinya. Dira adalah segalanya bagiku.
Kamu tahu apa rasa yang paling indah dari mencintai? Mendapatkan balasan yang sama. Aku sempat berbunga-bunga.
Dira beberapa kali hangat denganku. Namun, perasaanku juga langsung luruh seketika. Dia berubah 180 derajat.
“Setahun lagi aku melamarnya,” kataku kepada Eko.
“Yakin diterima?”
Aku menunjukkan isi chat WhatsApp dari Dira. Dira mengaku hanya ingin menjalani hubungan yang sangat serius.
Dia tidak mau pacaran. Eko termangu. Dia berpikir sejenak, lalu tersenyum.
“Jalanku sudah ada. Tinggal kamu mau menjalaninya atau nggak,” ucap Eko. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News