Kepala Desa Janda Itu Buat Dengkul Aku Lemas

22 Maret 2021 19:45

GenPI.co - Sudah hari ketiga aku dan teman-teman kuliahku berada di desa Kuliah Kerja Nyata di pelosok Jawa Tengah.

Hutan hijau di desa ini membuat hidupku terasa syahdu. Kehidupan di desa ini benar-benar berbeda dari hiruk-pikuk kota metropolitan.

BACA JUGA: Analisis Pakar Soal Bursa Capres 2024, Isinya Top

Selama tiga hari ini aku dan rombongan tim KKN sibuk berkeliling desa. Kami ingin mengetahui banyak hal, kemudian mulai merancang program-program demi memajukan desa ini.

Namun, yang aku temui di sini justru keanehan. Desa kecil ini seolah terbagi menjadi dua. Di bagian barat, rumah-rumah hanya diisi oleh bapak-bapak dan anak laki-laki mereka.

Sedangkan di bagian timur hanya berisi ibu-ibu dan anak perempuan mereka. Rumah kepala desa di bagian tengah menjadi penanda garis tengah di desa ini.

Uniknya lagi desa ini dipimpin oleh Ine, seorang janda muda, tetapi sangat berprestasi. Usianya mungkin baru 28 tahun, tetapi sudah menjadi kepala desa.

Dia menjadi warga lokal yang sangat dekat denganku. Tiap hari aku diminta ke rumahnya untuk mengambil makanan yang nantinya diberikan oleh kelompok KKN-ku.

Pada suatu hari, aku datang ke rumah Bu Lurah Ine, tetapi rumahnya kosong. Ku panggil-panggil namanya dan baru menyahut setelah beberapa kali aku teriak.

“Iya, bentar, Mas. Aku lagi mandi. Tunggu dulu di ruang tamu,” kata Ine.

Aku pun membuka pintu, benar saja, pintu depan tidak terkunci. Tidak lama kemudian, Ine melongok ke ruang tamu dengan hanya memakai handuk.

“Makanannya sudah siap, Mas, tunggu, ya,” katanya.

Aku hanya dibuatnya melongo. Tak kusangka Bu Ine yang tadinya terlihat biasa saja kini menjadi seperti bidadari di mataku.

Makin hari aku makin dekat dengan Bu Ine, dia bahkan sudah memintaku untuk tidak memanggilnya dengan ‘bu’ lagi. Katanya, biar akrab.

Aku pun makin senang. Kadang kala aku berlama-lama di rumahnya. Kami mengobrol dengan akrab. Singkatnya, aku dan Bu Ine saling mengakui bahwa kami saling suka.

Akan tetapi, masih ada satu hal yang ingin aku tanyakan ke Ine. Dia terlihat aneh ketika mengobrol denganku pada malam hari.

Setiap kali aku mengobrol dengannya, matanya tidak melihatku, tetapi justru ke belakangku. Seolah, ada sosok lain di belakangku.

Namun, belum sempat aku bertanya soal hal itu, seorang penduduk desa yang tua renta mendekatiku.

“Nak, hati-hati dengan Bu Lurah. Dia bukan mengincar kami, tetapi sosok yang di dekatmu. Jika kamu terlena, bisa berbahaya,” katanya.

Aku merinding dibuatnya. Dengkul rasanya lemas. Mengapa dia bisa tahu? Ah, sudahlah, aku tak ingin berburuk sangka. Aku lanjutkan langkah kakiku ke rumah Ine.

Malam itu, seperti biasa aku membuka pintu depan rumahnya. Namun, secara mengejutkan, Ine langsung menubrukku. Dia lalu memaksaku untuk melakukan begituan. Aku yang diliputi rasa bingung dan ingin pun mengiyakan.

“Jadi, itu cerita legenda di desa ini. Sejak saat itu, laki-laki dan wanita di desa ini tidak lagi memisahkan diri. Semua boleh hidup di satu rumah yang sama, syaratnya hanya sudah menikah,” kata Andri, seorang kepala desa yang menyambut tim KKN kami.

Kisah itu pula yang membuat aku dan tim KKN memilih desa ini menjadi tempat berbakti. Sebab, desa ini punya kisah mistis yang layak untuk disebarluaskan. Bahkan, desa ini bisa menjadi wisata kuliner yang menarik.

BACA JUGA: Politikus Demokrat Sindir Kubu Moeldoko, Partai Gagal Kudeta

Ada satu mitos menarik. Bagi orang luar desa tersebut dan berani tinggal di rumah kepala desa, akan bisa bertemu dengan sosok Bu Ine dan Mahasiwa KKN itu di depan rumah saung desa.

Hal itu yang ingin kami kembangkan menjadi wisata mistis dengan bumbu-bumbu tantangan.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Cahaya Reporter: Chelsea Venda

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co