Ragamu Telah Pergi, Kenanganmu Selamanya Di Hati

23 Juli 2020 15:40

GenPI.co - Malam ini malam pertama aku kembali ke cafe ini. Cafe yang jadi favorit kita, yang jadi tempat cerita kita tumbuh. Iya, aku bicara dengan kamu, kamu yang sudah pergi. 
Dan yang saat ini aku lakukan hanya menangis di sudut cafe. Sambil menunggu pesananku datang. Hanya itu yang bisa aku tunggu, karena kamu sudah tak mungkin kembali.

“Pesan apa mba?” tanya pelayan yang datang ke mejaku.

“Robusta satu.”

“Makanannya mba?”

“Donat duren satu.”

“Kalo ada tambahan bisa ke kasir mba biar nan..”

“Cepet pergi!” aku memotong omongannya dengan kasar.

Sudah sejak lima bulan yang lalu pertemuan pertama itu terjadi. Tapi, kenangan itu tidak akan pernah hilang. 

Kehilangan memberikan banyak pelajaran penting, salah satunya mengajarkan bahwa tidak semua hal dapat digantikan. Termasuk kenangan aku dan kamu.

Sore itu hari minggu, hari yang layak untuk berselancar di dunia maya sambil minum kopi. Aku memutuskan untuk lebih baik pergi ke cafe. 

Selain lebih menyenangkan ketimbang di rumah, aku juga berpikir di cafe nanti mungkin aku bisa berjumpa pria tampan. Wanita mana yang tak suka pria tampan?

“Pesan apa mba?” tanya pelayan yang entah kapan muncul di mejaku.

“Arabika satu, makanannya nanti saya pesan sendiri,” jawabku.

“Oke mba nanti pesanannya saya antar,” jawab pelayan.

Aku kembali dengan kegiatanku sebelumnya dan mulai mencari berita hangat apa lagi yang sekiranya enak untuk dibaca. 

Tapi, aku tak menemukan sesuatu yang menarik hingga akhirnya aku bosan. Mungkin karena aku sendirian di meja ini. 

Sampai tak lama kemudian pelayan itu datang membawa pesananku dengan sesosok pria tampan dengan rambut gondrong di belakangnya yang sebenarnya tidak kupesan.

“Boleh aku duduk?” pria itu bertanya seiring dengan pelayan yang sedang meletakkan pesananku.

“Boleh,” entah mengapa aku mengatakan itu, refleks, kupikir karena dia tampan, aku suka.

“Robusta sama donat durennya satu ya mas,” pria itu memesan kepada pelayan.

“Oke mas nanti pesanannya saya antar,” jawab pelayan.

BACA JUGA: Oh...Rinai, Beserta Kepergian Tanpa Lambaian Tangan

Pelayan itu kembali pergi, meninggalkan aku bersama orang asing yang kemudian aku tahu namanya adalah Doni. 

Baru beberapa kata yang ia keluarkan tapi aku sudah mengambil kesimpulan bahwa dia adalah orang yang ramah. 

Caranya berucap juga seru, intonasinya indah. Dia pribadi yang menyenangkan, aku suka.

Sendu senja mulai menjelang, aku rasa sudah saatnya aku pamit untuk pulang ke rumah. 

Doni hanya mengangguk tanda mengizinkan. Padahal aku sangat ingin dia menahanku, setidaknya meninggalkan kesan bahwa dia tak ingin aku lekas pergi. 

“Biar aku antar,” kata Doni.

Ah, rasanya saat itu aku ingin teriak bahagia. Cuma satu kalimat tapi hatiku dia buat kiamat. 

Di motor, Doni terlihat berbeda dia jadi banyak bicara dan saat itu aku tahu bahwa aku jatuh cinta. Motor Doni tiba di rumahku saat waktu menunjukan pukul lima sore.

Setiap malam minggu kami selalu menyempatkan diri untuk saling bertemu.

Uniknya setiap kali kami keluar, tujuan kami hanya cafe itu, cafe yang sama tempat kami pertama kali pertemu. 

BACA JUGA: Lily, Gadis Broken Home Mencari Cinta

Tak ada bosannya, mungkin karena cinta. Sampai aku mulai menyadari bahwa dua bulan setelah pertemuan rambut Doni kian menipis. Tiap kali kutanya jawabannya tak pernah serius.

“Salah pake sampo,” jawab Doni.

Aku tahu ia berbohong, aku tahu ada yang ia coba sembunyikan. Anehnya apapun itu aku tidak pedulikan.

Selama aku bisa terus bersamanya aku sudah bahagia. Sederhana, sekadar bisa menatap hujan bersamanya, aku sudah bahagia.

Hari itu hari Sabtu sore, empat bulan sejak pertemuan pertamaku dengan Doni, 3 bulan sejak ia pertama kali menyatakan bahwa ia mencintaiku.

(Inspirasi: by Rai) 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Landy Primasiwi Reporter: Hafid Arsyid

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co