Kondisi Rakyat Afghanistan Menjalani Ramadan di Tengah Lockdown

09 Mei 2020 23:39

GenPI.co - Sinar matahari bersinar melalui potongan-potongan kain berwarna-warni, menerangi wajah Miya Gul dengan palet warna merah dan kuning. Dia duduk di lantai tenda di permukiman untuk orang-orang terlantar di Kabul.

Selama 14 tahun terakhir, pria 37 tahun dan keluarganya menyebut tempat tersebut sebagai rumah.

Miya Gul telah menjalankan puasa sejak Ramadan pertama yang dimulai pada 24 April. Namun, baginya puasa tahun ini telah kehilangan makna, tak seperti biasanya. 

Menurut Miya Gul, istrinya Soyra dan keenam anaknya, puasa tahun ini menjadi kata lain untuk kelaparan.

"Ramadan ini adalah yang tersulit yang pernah kami alami. Jika kami tidak menemukan makanan, kami berpuasa sepanjang waktu. Orang yang punya uang bisa membeli satu kilo, dan kami hanya mampu membeli satu per hari." kata Miya Gul, seperti yang dilansir dari Aljazeraa.com, Sabtu, (9/5).

Sejak awal pandemi virus corona, Afghanistan berada di ambang kehancuran ekonomi. Kebijakan lockdown yang diberlakukan negara, telah memaksa banyak bisnis tutup.

Menurut data Biruni Institute, sebuah lembaga ekonomi lokal, menyebutkan akibat dari pandemi virus corona ini, enam juta orang telah kehilangan pekerjaan di sebuah negara, di mana 80 persen orang hidup di bawah garis kemiskinan.

Prospeknya suram. Dengan donor utama yang fokus memerangi virus di dalam negeri, ekonomi sumber daya rendah seperti Afghanistan tidak banyak mendapat dukungan dari luar. 

Bulan lalu, Amerika Serikat mengurangi dana untuk Afghanistan sebesar 1 miliar dolar, setelah para pemimpin utama negara itu secara terbuka menentang pembentukan pemerintah setelah pemilihan presiden yang diperebutkan pada bulan September 2019 lalu.

Krisis makin menghantam keluarga miskin, seperti Miya Gul. Bagi mereka yang mengandalkan pekerjaan sehari-hari untuk bertahan hidup, lockdown membuat mereka kehilangan mata pencaharian.

Sebelum pandemi, Miya Gul dulu bekerja di pasar lokal membantu pedagang mengangkut barang. Sekarang, karena krisis telah mempengaruhi semua orang, hanya sedikit orang yang dipekerjakan..

"Tahun lalu, penghasilan saya sekitar 300 afghani (sekitar Rp 58.678 per hari). Sekarang tidak ada pekerjaan, dan jika ada, saya mendapat sekitar 50 afghani (Rp 9.779)," kata Miya Gul.

"Kita harus mengirim anak-anak kita untuk bekerja di jalan-jalan. Kami membeli makanan dengan uang berapa pun yang mereka hasilkan. Putri kami Nodira kadang-kadang mendapat kentang atau tomat di pasar. Dia berusia tujuh tahun." lanjutnya. 

Selama beberapa minggu terakhir, harga makanan dan kebutuhan lainnya juga meningkat. Sebelum Ramadan, satu tabung air, kata Miya Gul, dulu harganya 5 afghani, atau Rp 977, sekarang harganya naik dua kali lipat. 

Di belakang tembok yang mengelilingi kamp, sampah juga menumpuk. Pihak berwenang biasanya mengangkutnya setelah dua atau tiga hari. Namun, sudah sebulan ini sampah masih dibiarkan menumpuk. 

"Tahun ini karena virus corona semuanya berubah, Ramadan juga," kata Dr Aminuddin Muzafary, wakil menteri haji dan urusan agama yang duduk di kantornya di pusat Kabul.

BACA JUGA : Kisah Ajaib! Nenek Renta Selamat dari Berbagai Virus Mematikan

"Kami telah meminta para imam untuk mengirim pesan kepada orang-orang selama salat Jumat bahwa mereka yang kaya harus membantu orang miskin. Masjid tidak hanya tempat ibadah tetapi juga ruang komunitas. 10.000 ton gandum telah didistribusikan kepada orang-orang melalui masjid." jelasnya. 

Kelompok-kelompok bantuan yang lebih beruntung bergegas untuk membantu mereka yang membutuhkan, juga mengatur pemberian makanan untuk mengurangi tekanan pada negara yang kelaparan.

Di Kabul, pemerintah daerah juga mendistribusikan gandum kepada keluarga miskin dan telah mengoordinasikan upaya dengan sektor swasta untuk memberikan paket beras, tepung dan minyak.

"Selama bulan Ramadan, kami bekerja sama dengan pemerintah kota Kabul untuk membentuk komite Syura lokal yang akan membantu mengidentifikasi orang-orang yang membutuhkan. Kami berencana untuk bekerja dengan toko roti sehingga keluarga yang diidentifikasi oleh Shura menerima roti gratis," ujar Nabiullah Peerkhail, Kepala staf provinsi Kabul. 

Namun, upaya tersebut meski sudah tersebar luas, tetap tidak cukup karena kemiskinan dan pengangguran ditambah dengan virus corona yang menyebar dengan cepat. 

BACA JUGA : Sedih! Novel Luka Kisahkan Romansa Cinta Remaja dan Patah Hati

Meski kebijakan lockdown masih berlangsung, banyak orang telah kembali ke jalan untuk mengemis. Dengan situasi ekonomi yang mengerikan, banyak yang mengatakan, jika virus corona tidak membunuh mereka, kemiskinan yang akan membunuh mereka.

Di permukiman lain bagi para pengungsi internal, Inzar Gul Safi, mengenang bahwa selama lima tahun terakhir, komunitasnya tidak menerima bantuan makanan selama Ramadan. Tahun ini, situasi di kampnya lebih buruk dari sebelumnya.

"Orang yang lebih tua sabar, tapi anak-anak tidak mengerti apa yang terjadi, mereka terus meminta makanan," kata Inzar Gul Safi.

"Kami tidak memiliki minyak, tidak ada roti, dan sejauh ini tidak ada virus corona. Pemerintah merekomendasikan agar kita mengonsumsi Vitamin C, makan jeruk, untuk melindungi diri kita sendiri. Tapi bagaimana kita bisa membelinya?" tutupnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Landy Primasiwi Reporter: Andi Ristanto

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co