Teka-Teki COVID-19: Mematikan di Amerika tapi TIdak di Asia

31 Mei 2020 12:55

GenPI.co - Ada teka-teki besar terkait covid-19. Di Amerika dan Eropa, efeknya sangat mematikan. Tapi di Asia, pandeminya terlihat seperti biasa saja. Apa yang membuat itu bisa terjadi?

China, tempat COVID-19 pertama kali muncul di Kota Wuhan, mencatat angka kematian kurang dari 5.000 jiwa atau 3 kematian per 1 juta penduduk. Jepang memiliki 7 kematian per 1 juta penduduk, India 3 kematian per 1 juta penduduk, dan Vietnam mencatat nol kematian per 1 juta penduduk.   

BACA JUGA: Uang Selalu Mengelilingi Zodiak Ini, Hidup Mereka Happy Terus

Bandingkan dengan Jerman yang mempunyai 100 kematian per 1 juta penduduk. Amerika dengan 300 kematian, serta Inggris, Italia, dan Spanyol yang mencatat lebih dari 500 kematian per 1 juta penduduk. Faktor utamanya bisa disimak dari sejumlah hal berikut ini.

1 Iklim dan budaya

Iklim tropis dengan suhu udara dan kelembapan tinggi mungkin berpengaruh terhadap penyebaran COVID-19 di sejumlah negara seperti Kamboja, Vietnam, dan Singapura. Beberapa studi berpendapat cuaca panas dan lembap dapat memperlambat penyebaran virus, meski tidak menghentikannya.  

Alasan ini harus diteliti lagi mengigat Ekuador dan Brasil yang beriklim tropis mencatat kasus kematian yang tinggi. Faktor demografis juga dianggap berperan terhadap penyebaran virus dan angka kematian COVID-19.

Negara-negara di Afrika dengan jumlah penduduk muda yang besar dianggap lebih mempunyai ketahanan dalam menghadapi pandemi COVID-19, ketimbang negara dengan jumlah penduduk lanjut usia yang besar seperti Italia.  

2 Respons pemerintah

Salah satu faktor yang berpengaruh pada tingginya angka kematian di Amerika Serikat dan Eropa Barat adalah keterlambatan respons pemerintah. Hal itu disebabkan, mereka menganggap episentrum COVID-19 yang berada di China terlalu jauh dari negara mereka.  

Sebaliknya, pengalaman menghadapi wabah SARS dan MERS membuat sejumlah negara Asia mampu merespons lebih cepat ancaman virus baru ini. Taiwan misalnya. Negara ini dipuji dunia internasional atas respons cepat pemerintah mereka saat COVID-19 pertama kali muncul.

Saat itu pemerintah Taiwan langsung memperketat pemeriksaan terhadap warga yang datang dari Wuhan. Selain Taiwan, Korea Selatan juga mendapat pujian karena segera membangun sistem tes massal, pelacakan riwayat kontak, dan karantina pasien yang masif.     

3. Sistem imun dan faktor genetik

Tim ilmuwan dari China University mengungkap adanya kemungkinan bahwa faktor genetik berpengaruh pada respons imun tubuh dalam menghadapi virus. Namun mereka mengatakan belum ada bukti yang cukup untuk mendukung asumsi tersebut.  

Para ahli juga menduga perbedaan respons imun juga berperan penting. Tatsuhiko Kodama dari University of Tokyo mengatakan terdapat sebuah studi awal yang menunjukkan bahwa ketika terinfeksi COVID-19, sistem imun masyarakat Jepang bereaksi seolah tubuh sudah pernah menghadapi virus tersebut. Menurutnya, sepanjang sejarah virus corona terbukti pernah menyebar di Asia Timur 

4. Perbedaan strain virus 

Penelitian tim ilmuwan Cambridge University menunjukkan virus corona penyebab COVID-19 telah bermutasi setelah meninggalkan wilayah Asia Timur menuju Eropa. Menurut penelitian tersebut, strain awal virus ini kemungkinan telah beradaptasi terhadap imunitas dan lingkungan populasi di Asia Timur sehingga perlu bermutasi untuk menyebar ke wilayah lain.   

Peter Forster, pakar genetik yang memimpin penelitian tersebut mengatakan, data klinis yang tersedia menjelaskan pengaruh perbedaan strain virus saat menyebar pada populasi tertentu. Namun, perlu ada penelitian lanjutan untuk menyelidiki pengaruh perbedaan strain virus terhadap tingkat kematian.  

Sementara tim peneliti dari Los Alamos National Laboratory menyatakan strain virus yang lebih ganas telah menyebar di Eropa dan Amerika Serikat. Namun, Jeremy Luban, ahli virologi University of Massachusetts Medical School, mengatakan strain virus yang menyebar di Eropa dan Amerika lebih mudah menular.  

BACA JUGA: Atlet Paling Tajir 2020 Ternyata Bukan Ronaldo dan Messi

5. Tingkat obesitas

Ada satu kesamaan lain yang dimiliki negara-negara di Asia, yaitu tingkat obesitas yang lebih rendah ketimbang negara-negara Barat. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang meningkatkan risiko fatalitas COVID-19.  

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tingkat obesitas di Jepang hanya sekitar 4 persen dan kurang dari 5 persen di Korea Selatan. Sementara di Amerika tingkat obesitas mencapai 36 persen, sementara di Eropa Barat mencapai 20 persen.  

Namun, berbagai penelitian epidemiologi terkait COVID-19 masih belum memiliki data yang lengkap. Oleh sebab, itu kesimpulan awal yang kini disuarakan bisa berubah seiring dengan makin bertambahnya data yang tersedia.  (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Agus Purwanto

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co