Militer Myanmar Brutal, Warga Dibuat Lemas, Butuh Bantuan Dunia

01 Maret 2021 22:58

GenPI.co - Pasukan keamanan telah mengerahkan metode yang lebih keras terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta dari pada yang sebelumnya digunakan di kota terbesar Myanmar, Yangon.

Dilansir AFP, Senin (1/3/2021), protes terhadap perebutan kekuasaan militer dalam kudeta 1 Februari lalu telah memasuki minggu keempat.

BACA JUGA: Arab Saudi Tolak Tudingan Intel AS, Isi Balasannya Menggelegar

Setelah negara Asia Tenggara itu menangkap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan sebagian besar pimpinan partainya, dengan tuduhan penipuan dalam pemilihan November yang dimenangkan partainya secara telak.

Polisi dan tentara mengerahkan peluru karet, gas air mata dan granat kejut, dan memukuli pengunjuk rasa di lokasi protes besar di Yangon pada hari Sabtu, termasuk di dekat pusat kota Sule Pagoda, Myaynigone di kotapraja Sanchaung, dan Hledan di kotapraja Kamayut.

Di pusat kota Yangon, polisi menyerang para pengunjuk rasa tak bersenjata dan tanpa kekerasan sekitar tengah hari waktu setempat. Ketika pengunjuk rasa berkumpul kembali, polisi mulai menggunakan taktik yang semakin kejam.

Polisi juga mengerahkan granat kejut yang meledak di dekat sekelompok warga sipil dan melakukan satu penangkapan. Aparat keamanan mengacungkan tongkat ke arah wartawan yang berusaha mendekati dan mendokumentasikan penangkapan tersebut.

Polisi dilaporkan terus menyerang para pengunjuk rasa, melakukan setidaknya dua penangkapan lagi. Seorang pria yang ditangkap mengalami pendarahan di wajahnya, tampaknya karena dipukuli.

Tindakan keras di bagian lain kota bahkan lebih parah, dengan laporan peluru karet dan gas air mata bersama dengan granat kejut dan pemukulan.

Sementara itu, media lokal Myanmar Now mengonfirmasi bahwa seorang reporter multimedia ditangkap saat siaran langsung tindakan keras di Myaynigone, di mana polisi juga menangkap setidaknya 20 pengunjuk rasa.

Seorang jurnalis Jepang ditahan dan kemudian dibebaskan di Yangon selama tindakan keras serupa.

Seorang aktivis serikat mahasiswa menyatakan bahwa dia yakin tindakan keras itu dimaksudkan untuk mengintimidasi orang-orang agar tidak mengikuti protes yang lebih besar yang direncanakan untuk hari Minggu, tetapi tidak berpikir itu akan efektif.

Sebaliknya, menurutnya taktik tersebut hanya akan membuat situasi menjadi lebih tidak stabil.

“Sebelum penumpasan, orang-orang percaya pada 'non-kekerasan' tapi sekarang kami mengerti itu tidak cukup. Jadi orang-orang bersiap untuk bela diri,” jelasnya.

Sebelumnya, di Mandalay, di mana polisi menggunakan peluru tajam, seorang pengunjuk rasa tewas pada Rabu setelah ditembak di kaki saat tindakan keras pada 21 Februari, yang menewaskan dua orang lainnya.

Korban dirawat di rumah sakit militer, di mana petugas mengklaim dia meninggal karena Covid-19.

Tetapi seorang dokter yang berusaha untuk merawat lukanya di tempat kejadian mengatakan dia mengalami pendarahan yang deras dan polisi menolak untuk membiarkannya memberikan perawatan medis yang memadai.

BACA JUGA: Bahaya, Biden Mendadak Serang Psikis Iran, Isinya Bikin Ambyar

Selain itu, di wilayah Sagaing, media lokal melaporkan seorang wanita tewas dalam protes pada hari Sabtu (27/2/2021) lalu.

Polisi juga menindak pengunjuk rasa yang menolak untuk menerima administrator lokal yang ditunjuk oleh pemerintah militer di kotapraja Tamwe, yang menyebabkan pembubaran kekerasan pertama di kota itu.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Luthfi Khairul Fikri

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co