RUU Kesehatan Perlu Pisahkan Aturan Rokok Elektrik dan Konvensional, Ini Alasannya

26 Mei 2023 16:00

GenPI.co - Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) mendorong pengaturan yang membedakan antara rokok elektrik dan rokok konvensional berdasarkan perbedaan profil risiko yang dimiliki oleh keduanya.

APVI berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mengembangkan standar kualitas dan memberikan edukasi yang tepat kepada masyarakat.

Hal ini bertujuan memungkinkan konsumen dan masyarakat umum memiliki pemahaman yang jelas tentang risiko yang terkait dengan masing-masing produk.

BACA JUGA:  Awas! Rokok Elektrik Mengandung Zat Racun, Ini Kata Dokter Ahli

Ketua APVI Aryo Andriyanto menyatakan rokok elektrik merupakan produk alternatif yang secara signifikan berbeda dari rokok konvensional dalam hal cara penggunaannya dan dampak kesehatan.

"Jadi permintaan kami bukanlah untuk menghindari pengaturan dan pengawasan terhadap rokok elektrik, tetapi untuk memperoleh kerangka regulasi yang membedakan antara rokok elektrik dan rokok konvensional," kata Aryo dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (26/5/2023).

BACA JUGA:  Penelitian Terbaru: Efek Rokok Elektrik alias Vape Mengerikan

Dalam situasi santernya polemik terkait Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang kontroversial, APVI turut menyoroti ketentuan pasal yang mengklasifikasikan produk rokok elektrik sebagai narkotika.

Asosiasi ini menolak RUU yang sedang diajukan di parlemen tersebut.

BACA JUGA:  Pemerintah Akan Larang Rokok Elektrik, Wapres Ma'ruf Amin Beber ini

Dengan alasan utama penolakannya ini adalah adanya rumusan yang dinilai tidak tepat dan berpotensi menciptakan kebingungan di kalangan konsumen.

Aryo menyebutkan pengklasifikasian produk rokok elektrik sebagai narkotika ini adalah sebuah kesalahan besar.

"Rokok elektrik kan barang legal, jauh berbeda dengan narkotika, dan tidak dapat disamakan dengan substansi yang berbahaya seperti narkotika," jelasnya.

Selain itu, Aryo menekankan pentingnya memberikan edukasi dan pengawasan yang tepat terhadap produk rokok elektrik, bukan melarang atau mengklasifikasikannya sebagai narkotika.

Dengan mengatur penggunaan dan pemasaran produk ini dengan baik, diharapkan dapat memastikan keselamatan pengguna dan menjaga kualitas produk yang beredar di pasaran.

APVI mengharapkan dialog pemahaman yang lebih baik mengenai produk rokok elektrik demi menjaga keberlanjutan industri dan memberikan opsi yang lebih aman bagi para perokok.

Keputusan akhir mengenai pengaturan produk rokok elektrik akan sangat mempengaruhi industri ini serta para penggunanya di Indonesia.

Dia menambahkan lebih jauh pihaknya akan memperjuangkan kebijakan yang adil dan berdasarkan pada penelitian ilmiah serta pengalaman pengguna.

Sementara, Anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini yang juga merupakan anggota Panja RUU Kesehatan mengusulkan adanya aturan terpisah untuk zat narkotika dan tembakau, termasuk rokok elektrik sebagai salah satu produk turunannya.

Usulan ini dimaksudkan sebagai solusi atas polemik yang mengemuka terkait pasal dalam RUU Kesehatan yang menyamakan zat narkotika dengan produk tembakau dalam satu kategori.

"Memang di dalam RUU disebutkan termasuk hasil produk turunan dari tembakau adalah rokok elektrik, dikategorikan sebagai bahan berbahaya. Nanti akan kita pisah secara lebih rinci. Kalau induknya produk tembakau dihilangkan dari RUU, rokok elektrik akan ikut. Memang pengaturannya harus berbeda, karena memang risikonya lebih kecil," terang dia.

Yahya membeberkan industri tembakau telah menjadi bagian integral dari sejarah dan kebudayaan Indonesia selama lebih dari seratus tahun.

Tidak hanya dari sisi penerimaan negara tetapi juga berdampak positif lantaran menjadi salah satu penyedia lapangan pekerjaan terbesar di Indonesia.

“Karena industri ini sangat membantu keuangan negara dan melibatkan banyak pekerja, kita akan berusaha melakukan pembicaraan dengan teman-teman fraksi yang sejalan agar masalah ini dicabut," imbuh Politisi Fraksi Partai Golkar itu.

Selama ini, merokok adalah aktivitas legal yang dilindungi undang-undang.

Tembakau sebagai bahan baku rokok merupakan komoditas perkebunan yang diatur dalam Undang- Undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan untuk meningkatkan pendapatan dan penerimaan negara.

Tidak hanya itu, soal produk rokok pun diatur dalam Undang-undang cukai nomor 39 tahun 2007, dan pajak lainnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Senada dengan itu, Ketua Majelis Khusus Percepatan Transformasi Desa ICMI, Sofyan Sjaf, mengimbau pemerintah dan DPR tidak sembrono meloloskan Pasal 154 Ayat (3) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.

Dia beralasan, pasal ini kontroversial lantaran menempatkan produk tembakau dan olahannya dalam kategori yang sama dengan produk ilegal, narkotika, dan psikotropika.

Sofyan Syaf mengungkapkan kekhawatirannya terhadap konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh pasal tersebut.

Menurutnya, meskipun upaya untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk tembakau dan olahannya adalah langkah yang baik, penempatan produk ini dalam kategori yang sama dengan narkotika dan psikotropika adalah tindakan yang berlebihan.

"Kami mendukung upaya pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat, tetapi penggolongan tembakau dalam kategori yang sama dengan narkotika dan psikotropika bisa memiliki dampak yang tidak diinginkan. Ini bisa menghambat industri tembakau yang sah dan berkontribusi besar terhadap ekonomi negara," ujar Sofyan.

Pada level hulu terdapat 10 provinsi terbesar di Indonesia yang merupakan sentra pertanian tembakau.

Jika pasal ini dilaksanakan, maka para petani tembakau di daerah tersebut akan kehilangan pendapatan karena tidak dapat melakukan kegiatan bertani tembakau lagi.

Sofyan berharap pemerintah bisa memikirkan masalah ini secara komprehensif.

"Sebelum ambil langkah ekstrem, harus ada solusi yang ditawarkan untuk menggantikan potensi ekonomi yang hilang," tuturnya.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Luthfi Khairul Fikri

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co