GenPI.co -
Restorative Justice ala Jaksa Agung dituding membikin koruptor makin banyak. Direktur Eksekutif Lembaga Survei Kedai Kopi Kunto Adi Wibowo menyoroti hal ini.
Dia menyorot pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang meminta perkara korupsi dengan kerugian di bawah Rp 50 juta tak diproses hukum.
Menurut Kunto, gagasan jaksa agung tidak tepat. Sebab, kata dia, banyak kalkulasi yang musti di hitung dan kerugian yang dialami bukan semata-mata berdampak pada negara.
Salah satu contohnya, kata Kunto, anak bisa jadi tidak sekolah karena uang bansos yang seharusnya dia dapat dikorupsi oleh seseorang.
“Jadi, kalau hanya pakai hitungan ekonomi biaya kasus dengan kerugian negara menurut saya tidak tepat untuk kasus sejahat korupsi,” ujar Kunto kepada GenPI.co, Rabu (2/2).
Selain itu, Kunto juga mengatakan berdasarkan pendekatan ekonomi rasional dengan perilaku manusia, restorative justice ini tidak bisa diterapkan untuk kasus korupsi.
“Karena, seseorang akan melakukan tindak pidana kalau keuntungannya lebih besar dari pada risikonya. Terlebih risikonya diperkecil seperti mengembalikan uang negara,” ucapnya.
Dengan begitu, kata Kunto, tindak pidana korupsi juga akan bertambah karena probabilitas penjatuhan sanksinya rendah.
“Restorative justice itu seharusnya untuk kasus pencurian yang kecil-kecil saja. Jangan kasus korupsi,” tuturnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan bahwa dirinya memahami pernyataan ST Burhanuddin sebagai gagasan.
Pasalnya, menurut dia, biaya proses hukum jauh lebih mahal dari uang yang dikorupsi.
"Kalau kita perhitungkan biayanya dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai ke pengadilan, banding, dan kasasi biayanya tentu lebih besar dari Rp 50 juta,” katanya.
“Sehingga saya memahami gagasan tersebut," tandas Ghufron. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News