
Bayangkan: saya harus tetap menulis di saat paling suntuk sekalipun. Kalau suntuknya masih pagi saya masih bisa bilang ke diri sendiri: nanti saja.
Kalau sampai siang masih suntuk saya masih bisa bilang: nanti sore saja. Pun ketika sudah sore: nanti saja menjelang magrib.
Kalau menjelang magrib itu tiba tidak ada lagi ruang untuk berkelit. Harus menulis.
BACA JUGA: Pesanggrahan Djoyoadhiningrat
Pun ketika belum punya ide. Pun ketika suntuknya meningkat. Pun ketika mendadak ada urusan-sampai harus menulis sambil di perjalanan.
Coba, hobi macam mana itu. Itu sama sekali bukan hobi. Itu siksa.
BACA JUGA: UV Tinggi
Siksa dunia. Semoga mengurangi siksa kubur. Tapi mengapa saya melakukan itu-memaksakan diri menulis setiap hari?
Saya teringat ayah. Almarhum. Hari itu keluarga kami seperti mau kiamat.
BACA JUGA: Lol Mama
Kakak sulung saya-satu-satunya yang punya penghasilan tetap sebagai guru madrasah-harus pergi ke Kalimamtan: Samarinda.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News