
Ibu sudah lama meninggal. Sawah sejengkal sudah terjual. Meja, kursi, dipan, lemari sudah jadi nasi. Tikar mendong sudah bolong-bolong.
Ayah tahu: anak wanitanya itu harus pergi. Saya tidak tahu –kecuali setelah dewasa: saat itu kakak lagi patah hati yang sangat berat.
Calon suami pilihannya dilarang menikahinya: masih sepupu. Dia memilih pergi-dengan tekad tidak akan pernah kembali.
BACA JUGA: Pesanggrahan Djoyoadhiningrat
Dia tinggalkan gajinya untuk kami-lewat surat kuasa untuk mengambil gaji. Dia sudah siap menderita di rantau-daripada hancur di kampungnya.
Pada jam keberangkatannya seluruh keluarga, tetangga, kerabat berkumpul di halaman. Mereka menangis-nangis.
BACA JUGA: UV Tinggi
Terutama ketika sado yang menjemputnya tiba. Untuk membawanya ke kota-dari Kota Madiun akan naik kereta api ke Surabaya, lalu naik kapal laut ke Samarinda.
Pak kusir membantu kakak saya menaiki sadonya. Berangkat. Tidak ada lagi bunya sepatu kuda. Tidak ada suara apa-apa.
BACA JUGA: Lol Mama
Sedu dan sedan sudah lama mengeringkan air mata. Sado pergi. Kakak pergi. Tetangga pergi. Kerabat pergi.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News