
Dapat setengah tanjakan saya sudah lima kali istirahat. Tapi kepala belum pening. Pandangan mata belum mengabur. Pohon-pohon tidak terlihat berputar.
"Terus!" kata saya keras-keras. Di dalam hati.
Ketemulah jalan memutar di situ. Lalu ada tangga buatan menuju puncak. Tingginya 300 tangga. Mungkin salah hitung. Konsentrasi sudah digoyahkan oleh lapar, haus, dan godaan mokel.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Donald Trump: Salam Karma
Tapi saya ingin tes badan: apakah senam dansa saya setiap hari itu ada gunanya. Sampai di puncak saya dirayu lagi untuk mokel. Tidak. Ini tidak ada apa-apanya daripada perjalanan kaki saya di pedalaman Papua –kini provinsi Papua Pegunungan.
Saya pernah jalan kaki dari dekat Wamena ke Yahukimo. Juga di bulan puasa. Tidak mokel. Padahal, kala itu, berangkatnya setelah salat Subuh.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Safari Ramadan: Kambing Gemuk
Tiba di lokasi pukul 12.00 siang. Lalu balik ke Wamena lagi. Jalan kaki lagi. Baru tiba kembali pukul 20.00.
Saya juga selalu ingat bapak saya. Di bulan puasa pun tetap mencangkul. Di sawah. Di bawah terik matahari. Dengan panggung telanjang. Memantulkan sinar matahari yang nyentrong dengan teriknya.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Dalang: Anshor Laris
Apalah beratnya tebing ini. Dari atas bukit terlihat Tanjung Pangandaran menjorok ke laut selatan. Saya pernah menamakannya tanjung Dua Matahari.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News