Begitu cepat wabah ''nasi Harbin'' menjalar ke seluruh Tiongkok. Begitu cepat selera orang di sana berubah –mengikuti kemajuan ekonomi mereka. Begitu mudah mereka melupakan rasa nasi lama.
Meski sering makan nasi ala Harbin saya tidak sampai melupakan rasa nasi lama. Saya tidak mengharuskan istri membeli beras kelas itu. Terima kasih lidah. Anda begitu fleksibel. Dapat nasi Harbin Alhamdulillah. Pun ketika dapat nasi dapur istri saya.
Fleksibilitas lidah itu bersumber dari ekspektasi. Dugaan saya: lidah bisa fleksibel karena tidak pernah punya ekspektasi bisa selalu makan nasi Harbin.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Madura Kali
Ekspektasi kebanyakan orang cukuplah: beras ada. Tidak harus ngetan dan wangi. Cukup enak cukup –untuk lidah fleksibel. Berharap juga harga pun terjangkau.
Tahap ''ada beras'' dan ''beras cukup'' pernah tercapai. Yakni di zaman mertua presiden terpilih sekarang jadi presiden.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Hilirisasi Rudi
Setelah itu harusnya kita naik kelas: dari ''ada'' dan ''cukup'' ke rasa yang lebih enak.
Ternyata kita tidak bisa naik kelas. Tidak pernah bisa. Kita begitu cinta pada kelas yang sama. Bahkan status ''cukup'' itu pun masih sering terganggu: harus impor.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Setelah Putaran
Setiap presiden takut inflasi. Begitu muncul ramalan bahwa stok beras menipis keputusannya cepat: impor beras! Kalau tidak, akan inflasi. Harga beras sangat sensitif pada inflasi.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News