Aku Bersyukur, Masih Bisa Berlari (1)

Aku Bersyukur, Masih Bisa Berlari (1) - GenPI.co
Frea Anneta, Tim GenPI yang berada di Palu saat gempa terjadi

Tidak terlalu lama kami berkeliling menyusuri kawasan Kaili. Karena harus menjalankan salat Jumat, bagi yang lelaki. Sementara mereka menjalankan salat Jumat, kami menunggu di sebuah warung makan. Kami menyantap makanan khas suku Kaili. Ada sop Daun Kelor. Ada ikan bakar yang dicabein. Dan beberapa jenis makanan khas lain, yang aku tidak begitu memperhatikan jenisnya satu persatu. Semua makanan di hidangkan seperti layaknya kalau kita makan di rumah makan Padang. Saya minum es kelapa. Sangat segar, di tengah teriknya kota Palu. Palu kotanya panas banget.

Usai makan kami bergegas kembali ke hotel. Kembali fokus untuk persiapan pembukaan festival Nomoni, yang rencananya akan di gelar di sepanjang bibir pantai. Pukul 14.30, kami sampai di hotel.  Seperti biasa, sesampainya di hotel kami langsung ambil charger handphone. Begitu pula Nana. Ia sibuk mempersiapkan baterai kameranya. Setengah jam kemudian, sekitar pukul 15.00 WITA terasa hotel bergerak-gerak. Ah ada gempa, pikirku. Kami berdua masih terdiam. Tidak ada rasa was-was, khawatir apalagi takut. Sebelumnya dari warga setempat saya sudah diberi tahu, di Palu memang sering ada gempa.  Gempa itu sudah biasa di Palu. Jadi saya tidak terlalu begitu khawatir.

Beberapa saat kemudian, saya tahu gempa yang baru saja terjadi  berkekuatan 5,3 skala richter. Saya tahunya justru dari Jhe, ketua GenPI Lombok/Sumbawa melalui grup WA.  Jhe memang selalu memantau kegiatan kami. Karena ada perwakilan dari GenPI Lombok/Sumbawa dalam rombongan kami. Dan kami selalu saling berkoordinasi dan saling mengabarkan setiap kegiatan. Inilah GenPI.

Aku masih lanjutkan rebahan di kasur. Sementara Nana, masih sibuk dengan peralatan kameranya. Aku pikir, Nana ini serius banget kerjanya. Pada saat bersamaan, terasa kasur kembali bergoyang-goyang. Kaca di kamar mandi tiba-tiba bersuara krek…krek… mungkin, karena aku terlalu capek,  aku tidak begitu mengabaikan gempa itu.  Apalagi, pihak hotel juga tidak memberitahukan apa pun. Semua sudah seperti biasa. Pikirku, semua akan aman-aman saja.

Menjelang pukul 17.00 WITA kami keluar hotel. Menuju ke tempat acara, yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Namun, saat itu jalanan  sudah sangat padat. Nampak ribuan masyarakat berbondong-bondong menuju ke pantai. Motor, mobil dan pejalan kaki berbaur menjadi satu. Menuju ke arah pantai Talise. Tempat Festival Nomoni akan digelar. Akhirnya, jarak yang sebenarnya tidak jauh itu, ditempuh hampir setengah jam lamanya dengan mobil.

Di bibir pantai sudah begitu ramai. Selain penonton, sejumlah pedagang, dan pengisi stand masih berdiri berjejer di tepi jalan besar. Mereka belum menggelar dagangannya. Entah apa yang mereka tunggu. Kondisi ini sempat membuat kami sedikit panik. Pasalnya, acara akan dimulai tinggal beberapa jam lagi. Tetapi, masih banyak stand yang kosong. Kalau pun sudah ada orangnya, mereka belum membongkar barangnya.

Karena kondisi ini pula, akhirnya kami memutuskan untuk memecah tim menjadi dua. Satu tim menuju ke anjungan Nusantara. Seingat saya, rombongan Widi menuju ke arah anjungan Nusantara. Sedangkan aku, berjalan dengan Papi Share ( maaf aku lupa nama aslinya). Ia dari GenPI Sulteng. Orang biasa memanggilnya Papi Share. Jadi aku ikut saja memanggilnya begitu.

Aku Bersama Papi Share menuju ke Jembatan Kuning. Jembatan yang sangat terkenal di Palu. Di sepanjang perjalanan, aku dibayangi kekhawatiran. Bukan soal gempa, apalagi tsunami. Tetapi soal persiapan acara yang menurutku sangat lambat. Aku sempat berpikir, apa bisa mereka mempersiapkan semuanya dalam waktu yang sangat singkat. Sementara waktu terus berjalan. Mereka masih nampak tenang-tenang saja.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya