Dhaup Ageng Dalem Pakualaman Yogyakarta

Yuk, Mengenal Gaya Riasan Paes Ageng Khas Yogyakarta

Yuk, Mengenal Gaya Riasan Paes Ageng Khas Yogyakarta - GenPI.co
Riasan paes ageng khas Yogyakarta

Dalam setiap pernikahan adat Jawa, umumnya selalu menggunakan gaya riasan paes pada pengantin putri. Dulunya tata rias dan busana Paes Ageng Yogyakarta ini hanya boleh dipakai oleh Sultan dan kerabatnya. Setelah jaman Sri Sultan Hamengkubuwono IX masyarakat umum diizinkan mengenakan gaya busana pengantin ini. Tak terkecuali pada acara pernikahan agung 'Dhaup Ageng' putra dalem Paku Alam X, yang digelar tanggal 5 Januari 2019.

"Tata rias di Yogyakarta sebetulnya hanya ada dua, tata rias Paes Ageng dan tata rias Jangan Menir. Paes Ageng digunakan dikala pengantin itu untuk acara panggih. Kemudian saat pahargyan kedua atau ngunduh mantu menggunakan busana bludru dengan tata rias Jangan Menir," ujar K.R.N.T. Sintawati Retnosumbogo, Juru Rias Paes Ageng Yogyakarta kepada GenPI.co beberapa waktu lalu.

Menurut perias yang akrab disapa Bu Lis ini, riasan Paes Ageng memiliki makna dan folisofi mendalam untuk kedua mempelai dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Gaya riasan ini memiliki ciri khas pada alis 'menjangan ranggah' dan jahitan mata. Lalu pada bagian dahinya dilukis menggunakan prada yang kemudian disebut dengan paes.

Tahap tata rias pengantin ini dimulai dari pinggiran rambut dikerik (halup-halupan), lalu berlanjut ke pembuatan pola dibagian dahi dipinggiran rambut (cengkorongan). Lalu ada lukisan citak diantara alis, panunggul dibagian tengah batas rambut, pengapit dan penitis disisi kanan kirinya dan terakhir godek.

"Dilengkapi juga dengan aksesoris untuk hiasan kepala, seperti 5 cunduk mentul merupakan penghormatan kepada gunung, centung dan sumping. Lalu kalung sungsun (kalung susun tiga), gelang binggel kana, dan kelat bahu naga yang menghadap ke belakang, yang artinya untuk mengawasi para pengantin supaya dalam keadaan baik-baik saja," ujar Bu Lies.

Melengkapi riasan Paes Ageng, pengantin juga wajib mengenakan busana yang disebut dodotan. Kain dodot sepanjang 3 setengah meter biasanya dikenakansebelum pemakaian kain cinde warna merah. Sementara pada saat acara ngunduh mantu di hari berikutnya, pengantin menggunakan busana dengan bahan bludru dan riasan Jangan Menir.

Diungkapkan Bu Lies, seiring dengan perkembangan jaman beberapa modifikasi dalam riasan ini kerap terjadi, seperti penggunaan warna eyeshadow dan pemilihan warna bedak yang disesuaikan dengan kemauan calon pengantin. Menurutnya hal itu sah-sah saja selama tidak mengubah pakem aslinya.

"Kami sebagai perias harus menjaga tatanan yang ada dan apa yang sudah dibakukan. Kami bisa menyesuaikan apa yang dikehendaki pengantin, tapi tetap mengikuti pakem," tuturnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya