Sekelumit Kisah Piringan Hitam di Tengah Badai Digital

Sekelumit Kisah Piringan Hitam di Tengah Badai Digital - GenPI.co
Koleksi piringan hitam di toko Laid Black Blues, Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. (Foto: Mia Kamila)

Piringan hitam atau Vinyl merupakan bentuk fisik yang dihasilkan dari industri rekaman. Bentuknya tipis, dengan tiga ukuran, 12 ichi, 10 inchi dan 7 inchi. Satu plat piringan hitam memiliki berat 90-200 gram. 

Musisi Indonesia jaman lawas banyak yang merekam lagu-lagunya dalam format piringan hitam. Mereka di antaranya adalah Titiek Puspa, Koes Pulus, Dara Puspita dan Lilies Suryani.

Banyak cara yang dilakukan Samson untuk mendapatkan piringan hitam. Salah satunya dari perorangan yang punya piringan hitam dan tidak terpakai tapi masih bisa diputar. Selain itu, ia juga mendapatkan dari sesame kolektor.

Toko musik yang dikelola  Samson ini sudah  berusia lima tahun. Itu merupakan toko pertama yang menjual piringan hitam setelah pasar Santa beralih fungsi dan direnovasi. Ratusan keeping tersedia dan siap berganti pemilik.

“Piringan hitam ini sempat vakum sekitar dua  generasi. Kemudian muncul kembali sekitar tahun 2012 dan eksis sampai sekarang, karena dia memiliki market sendiri,” pungkas Samson.

Sekelumit Kisah Piringan Hitam di Tengah Badai DigitalSebuah piringan hitam dengan alat pemutarnya bernama grapahone.

Masih di kawasan Pasar Santa itu, GenPI.co bertemu salah seorang kolektor piringan hitam di Jakarta. Namanya Rony.

Ia mengaku lebih suka mendengarkan lagu dari piringan hitam. Alasannya, suara lebih jernih. Selain itu memiliki piringan hitam merupakan salah satu bentuk kebanggan baginya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya