Catatan Dahlan Iskan: Tandu Huang

Catatan Dahlan Iskan: Tandu Huang - GenPI.co
Dahlan Iskan. Foto: Disway

Untuk naik tandu itu tidak harus dari terminal cable car menuju puncak. Bisa hanya untuk satu dakian panjang. Bisa juga dua dakian. Tiga dakian. Empat. Lima. Masih banyak lagi.

Yang jelas tidak ada tandu untuk dakian yang paling atas. Yang nyaris tegak lurus tadi. Yang saya sempat ragu-ragu terus mendaki atau tidak. Kalau ada orang memaksa ditandu di situ ia akan tumpah dari tandu.

Pelan tapi pasti. Saya pun sampai puncak. Setengah jam sendiri dari tangga pertama ke puncak. Betapa lambatnya. Benar-benar harus sabar. Teguh. Jangan mikir waktu. Jangan melihat ke bawah. Melirik pun tidak berani.

BACA JUGA:  Catatan Dahlan Iskan: Kucing Jembatan

Sebenarnya tidak harus semua orang sampai ke puncak itu. Bisa ke puncak yang lain. Tapi saya ingin ke yang tersulit itu. Disebut puncak Teratai. Lotus Peak. 莲花峰.

Sampai di puncak Huangshan itu saya ragu: apakah saya ini sedang di langit atau sedang di laut. Di atas kepala saya serasa langit tinggal satu telunjuk lagi. Sedang di bawah saya seperti hamparan air. Dan memang itu air sungguhan. Dalam wujudnya yang lain: kabut.

BACA JUGA:  Catatan Dahlan Iskan soal Wuhan: Mao Muda

Itu akhir minggu kedua April 2023. Banyak hujan dan kabut. Mungkin lebih baik mendaki Huangshan di bulan Oktober.

Dari puncak itu kami naik turun tangga lagi: ke puncak yang lain. Tidak turun lewat tangga curam tadi. Ada jalan memutar. Puncak kedua ini sedikit lebih rendah. Indahnya sama tapi berbeda. Puncak Guang Ming. 光明顶.

BACA JUGA:  Catatan Dahlan Iskan: Nagabonar Sudan

Dari situ kami memutuskan turun. Tidak perlu ke puncak-puncak lainnya. Masih begitu banyak puncak. Semuanya indah. Tak terpermanai.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya