
Manfaat ekonomi yang dijadikan dasar pemerintah tidak sebesar mudaratnya kepada umat.
"Nanti kalau masyarakat sudah mabuk semua, akan terasa dampaknya. Sekarang saja polisi pada bingung menegakkan hukumnya ketika mereka ngumpet-ngumpet minum minuman keras. Miras ini sumber dari kejahatan-kejahatan lainnya," tegasnya.
PBNU juga mempersoalkan masalah perdagangan eceran miras atau alkohol yang diatur dalam jaringan distribusi. Ini menunjukkan bahwa pedagang kaki lima boleh menjual miras jika tempatnya khusus.
"Ini saya ajak membayangkan, tangan kanannya bawa ember jual barang halal ada air mineral, soft drink. Karena ini yang penting tempatnya beda, maka tangan kirinya bisa bawa ember isinya miras. itu kira-kira apa yang akan terjadi nantinya?" ungkap Marsudi Syuhud.
Hal itu juga memicu keprihatinan banyak kalangan. Bukan hanya kiai-kiai di Majelis Ulama Indonesia (MUI), tetapi para kiai dan ustaz NU di berbagai wilayah Indonesia.
"Semua kiai di MUI, di pojokkan mana saja, di kampung terpencil mana pun, kalau ditanya soal miras, ya jawabannya tetap sama (menolak)," ujar Marsudi Syuhud.
Namun, melihat banyaknya penentang Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tersebut, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut Perpres kontroversi ini.
"Bersama ini saya sampaikan, saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," tegas Jokowi di Jakarta, Selasa (2/3)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News