GenPI.co - Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Salampessy menilai bahwa perempuan Indonesia masih terbelenggu dalam berbagai kebijakan diskriminatif, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Hal tersebut dapat membatasi perempuan dalam berekspresi dan beraktivitas sehari-hari.
Mulai dari pembatasan kebebasan beragama dan berkeyakinan, kriminalisasi perempuan, pembatasan kebebasan berekspresi melalui penyeragaman busana, dan pembatasan jam malam.
“Pembatasan tersebut membuat perempuan mengalami kerentanan yang berlapis,” ujarnya dalam Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara, Kamis (28/10).
Olivia mengatakan bahwa kajian Komnas Perempuan menunjukkan kebijakan diskriminatif berkaitan dengan lahirnya politik identitas primordial, terutama agama dan etnis.
Selain itu, hal tersebut juga berdampak pada berjalannya otonomi daerah tanpa mekanisme pengawasan yang mumpuni.
“Demokratisasi Indonesia pun lebih bersifat prosedural daripada substantif,” katanya.
Menurut Olivia, kebijakan yang diskriminatif memaksa kelompok minoritas diperintahkan untuk menyesuaikan diri.
“Artinya, kita harus tunduk pada peraturan yang mengunggulkan identitas tunggal kelompok mayoritas,” ungkapnya.
Olivia menjelaskan bahwa kelompok minoritas terdiri dari mereka yang berbeda keyakinan atau berkeyakinan sama dengan pandangan berbeda dengan kebijakan tersebut.
Lebih lanjut, Komnas Perempuan mencatat bahwa pihak yang berbeda pandang dengan aturan tersebut berisiko untuk mengalami diskriminasi dan pengabaian dalam pelayanan publik.
“Mereka juga memperoleh sanksi sosial berupa ejekan dan pengucilan atau sanksi administrasi jika bekerja sebagai pegawai,” tuturnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News