Soal Kekerasan Seksual di Pesantren, Sosiolog UI Angkat Bicara

16 September 2022 18:40

GenPI.co - Sosiolog Universitas Indonesia Dr Ida Ruwaida menilai perlu ada kebijakan negara yang ketat dalam mengontrol secara kritis pola pengasuhan di pesantren.

Dia menilai pada dasarnya, kekerasan seksual yang terjadi di pesantren mungkin bisa ditemui di institusi pendidikan lainnya.

"Namun, karena pesantren adalah lembaga pendidikan agama, tindak kekerasan yang terjadi lebih disorot," kata Ida Ruwaida di Depok, Jumat (16/9/2022).

BACA JUGA:  Rekaman CCTV Kasus Penganiayaan di Ponpes Gontor Terkuak, Ini Buktinya

Menurut Ida, ada kecenderungan bahwa tindak kekerasan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial.

Studi menunjukkan pelaku kekerasan umumnya berlatar keluarga yang akrab dengan kekerasan.

BACA JUGA:  Kasus Penganiayaan di Ponpes Gontor Berbuntut Panjang, Gus Yaqut Akhirnya Bersuara

Kecenderungan ini bisa terjadi di pesantren, mengingat lama mukim santri/santriwati relatif tahunan.

"Artinya, ketika pesantren menoleransi dan akrab dengan kekerasan, apa pun dalih atau alasannya, termasuk untuk mendisiplinkan santri, kekerasan akan menjadi bagian dari keseharian," tuturnya.

BACA JUGA:  Kasus Penganiayaan di Ponpes Gontor Berbuntut Panjang, Muhammadiyah Buka Suara

Ida menyebut ada empat faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan di lingkungan pesantren.

Pertama, kultur atau tradisi pesantren yang paternalistik. Budaya atau tradisi pesantren cenderung menempatkan sang kiai atau tokoh sebagai figur sentral, rujukan, bahkan role model.

Kepatuhan pada kiai menjadi bagian yang ditanamkan, sehingga bersikap kritis akan dianggap menyimpang hingga diyakini menjadi sumber dosa.

Kedua, adanya anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari media pembelajaran.

Sebagian pesantren menggunakan kekerasan sebagai bentuk hukuman bagi para santri yang melanggar aturan. Tujuan penghukuman adalah agar para pelanggar merasa jera.

Ketiga, yang memicu terjadinya kekerasan di pesantren adalah dilema antara rasa solidaritas warga pesantren dengan literasi kemanusiaan.

Solidaritas sering kali dimaknai sebagai membela atau mendiamkan kawan meskipun salah bersikap dan berperilaku, termasuk pada pelaku kekerasan.

Keempat, setiap santri memiliki latar belakang sosial ekonomi, wilayah tinggal, watak dan karakter, serta latar budaya yang beragam.

"Mendidik dan mengasuh santri dengan latar belakang berbeda tentu menjadi tantangan tersendiri," katanya. (antara)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Irwina Istiqomah

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co