Maut Merenggut Nyawa Calon Istriku

27 Agustus 2020 18:20

GenPI.co - Detik menyatu menjadi menit. Menit bertemu menjadi jam. Jam berkumpul menjadi hari. Hari-hari yang kau lewati tidak luput dari canda dan tawa. 

Ke mana pun kau melangkahkan kaki, gadismu selalu ada. Dunia ini serasa milik berdua saja.

“Sayang kita jalan-jalan yuk!” Kau mengajak gadismu untuk menikmati kebersamaan.

“Jalan-jalan ke mana sayang?” Gadismu menanggapi.

“Ke bioskop. Kata temanku minggu ini ada film seru.”

“Tapi bukan film horor, kan?” Gadismu memastikan.

BACA JUGA: Sokoke itu Kunamai Si Bengal

“Kalau iya gimana?” Kau tersenyum tipis.

“Ihhh, aku gak mau nonton. Takut,” gadismu berkata ngeri.

“Eh, sayang lihat itu di belakangmu ada sesuatu. Hitam banget. Serem!”

Secepat mungkin gadismu membalikkan badannya. Takut makhluk itu menyentuhnya.

“Haha, becanda… becanda sayang, hehe,” kau tertawa tipis, “Tahu nggak apa yang paling horor bagiku?”

“Nggak, emang apa?” Gadismu kembali mengarahkan matanya padamu. Dia selalu suka jika kau bertanya seperti itu.

“Kuntilanak, hihi.” Sekali lagi kau tertawa bahak, membuat kumbang di taman melihatmu tajam.

Sempurna gadismu cemberut, dia melipat wajahnya.

“Cup, cup, cup, jangan cemberut gitu dong sayang. Nanti kecantikannya berkurang,” rayumu.

“Emang kenapa kalau kecantikanku berkurang?” Gadismu bertanya dibumbui rasa kesal.

“Bunga-bunga ini akan berteriak bahagia. Permohonan mereka terkabul. Selama ini mereka cemburu. Melihat betapa cantiknya dirimu, sayang.” Kau paling hebat mengeluarkan mantra cinta.

Senyuman terpatri di bibir gadismu, yang sebelumnya maju beberapa senti.

“Dan yang paling horor bagiku adalah kehilanganmu. Aku takut waktu merenggut kebersamaan kita. Karena aku sangat …”

“Aku juga sangat menyayangimu.” Sergah gadismu, dia tahu betul apa yang akan kau ucapkan. Sempurna wajahnya memancarkan cahaya kebahagiaan.

Kau tersenyum sambil mengacak-ngacak rambut gadismu.

Satu tahun terlewati.

Memang benar kata para pujangga; Waktu berlalu sangat cepat, secepat anak panah yang tega meninggalkan busurnya. 

Tidak seperti biasanya, di taman bunga ini, kau terlihat gelisah. Padahal gadismu tidak merajuk karena bosan datang ke sini.

“Sayang,” ucapmu memecah keheningan. Sedari tadi kau dan gadismu hanya duduk melihat bunga mawar yang menari.

“Kenapa sayang?” Gadismu menatap penuh tanya.

Kata yang telah kau rangkai sebelumnya mendadak hilang dari bibirmu.

Mata gadismu semakin membulat.

BACA JUGA: Dan Pendar Keemasan itu Menyapu Pekat Malam

“Apa kamu bahagia menikmati waktu bersamaku?” Kau menyumpahi dirimu sendiri atas pertanyaan itu. Bukan, bukan itu yang sebenarnya ingin kau ucapkan.

“Tentu saja.” Gadismu menjawab pendek, matanya kembali tertuju pada bunga yang menari.

Suasana di taman bunga kembali hening. Gadismu canggung dengan keadaan ini, terlebih biasanya kau ‘gila’ menebar mantra-mantra cinta yang membuat dia terbang ke dimensi lain, dimensi yang dipenuhi cinta.

“Sayang,” kau kembali menata kata.

Gadismu kembali menatapmu penuh tanya.

“Lima belas bulan yang lalu kita bertemu di pameran buku. Takdir berbaik hati padaku, dia mempertemukan aku dengan seorang perempuan yang mampu membuatku tersenyum di saat hatiku menangis dan membuat orang lain menyebutku gila.”

“Karena aku selalu tersenyum dan tertawa ketika menatap layar HP, melihat percakapan dan foto kita.”

“Butuh lima bulan bagiku mengumpulkan keberanian. Di tempat ini kita mengikrarkan cinta. Berjanji akan melewati pahit-manis kehidupan,” kau membuat gadismu menatap lamat-lamat lelaki di sampingnya.
“Alea, mungkin ini terasa terlalu cepat. Tapi aku rasa ini waktu yang paling tepat. Alea maukah kamu … Maukah kamu ….” 

kau diam sejenak mengumpulkan keberanian, “Maukah kamu menikah denganku?” Kau merasa sangat lega, berhasil mengeluarkan kata-kata yang seminggu terakhir kau rangkai.

Namun, dalam helaan napas yang sama, detak jantungmu berdetak tak terkira kencangnya. Harap-harap cemas menanti jawaban.

Bola mata gadismu berkaca-kaca. Satu tarikan napas panjang. Tanpa ditanya dua kali dia mengangguk. “Aku bersedia menikah denganmu,” gadismu menjawab mantap.

Sedetik kemudian taman bunga ini menjadi riuh, kau berteriak, bahagia sekali. Puluhan balon terbang, warna-warni menghiasi birunya langit, seperti apa yang telah direncanakan.

BACA JUGA: Darahku Mendidih di Era Pandemi Corona, Anakku Ternyata… 

Hitungan minggu setelah kejadian indah di taman bunga, kau memutuskan untuk datang ke butik, memilih baju pengantin. Siang itu matahari gagah berani menampakan dirinya, membuat orang berkata ketus padanya.

Kau tidak peduli meski sinar matahari menyengat kulitmu, karena ada seorang perempuan yang menyejukanmu dengan senyumannya. Kau memilih untuk mengendarai motor, memaksanya berlari sangat kencang. 

Gadismu mendekap erat, erat, semakin erat. Naasnya, kau harus membayar mahal atas keputusanmu itu. Tak lama kemudian semua kebahagiaanmu sirna.

Cukup satu detik saja senyuman bisa berubah menjadi tangisan. Cukup satu detik saja kebahagiaan bisa berubah menjadi penderitaan. Satu detik yang berlalu berubah menjadi kenangan, kenangan yang bisa membuat simpul senyum di bibir atau mengalirkan anak sungai di pipi.

Kau selalu membiarkan rasa sepi itu menemani. Tidak peduli ratusan hari telah terlewati, kau selalu saja memilih untuk menyendiri. Menenggelamkan diri pada gelapnya malam.

 Maaf, maafkan gadismu ini. Aku tidak bisa menepati janji untuk selalu bersamamu. Tak perlu kau mengutuk diri terhadap apa yang telah terjadi. Kecelakan itu adalah takdir.

Haidar, aku menyayangimu, tanpa kau minta, aku akan selalu menyayangimu. Tapi maaf aku harus pergi meskipun kau melarangku untuk pergi. Aku pergi untuk selamanya. Ikhlaskan lah.(*)

BACA JUGA: Kasihku pada Wendy Melampaui Waktu

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co