Tubuhmu Tak Sehangat yang Kukira, Tapi Harus Kuterima Semua ini

10 September 2020 11:18

GenPI.co - Kali kedua aku menyusuri jalan ini dengan motor bututku. Seruas jalan aspal halus yang dilindungi oleh rindangnya daun pohon yang tumbuh di kiri kanannya. 

Sinar matahari sulit menerobos masuk lantaran lebatnya daun pohon-pohon itu, membuat suasana di sepanjang jalan ini tampak temaram.  Kendaraan pun sepertinya enggan melewati jalan ini. Soal itu, aku tak tahu kenapa.

BACA JUGA: Benalu Menyaru Sebagai Cinta, Ia pun Pergi Berlalu

Inilah aktivitasku belakangan, menjajakan makanan ringan sambil mengelilingi kota ini. Aku adalah satu dari banyak orang di sini  yang kalah oleh musuh tak terlihat bernama COVID-19. 

Perusahaan tempatku bekerja kolaps, sehingga kami para karyawannya terlantar. Untuk menyambung hidup, aku berjualan makanan ringan. Tabungan kubongkar untuk digunakan sebagai modal jualanku ini.

Hari ini, nasib kembali membawaku di jalan sepi nan kelabu ini. Nuansa suramnya persis seperti hatiku yang sedang menebak-nebak masa depanku yang makin tak jelas saja di bawah serangan pandemi ini. Ingin sekali aku marah, tapi pada siapa?

Sudah lewat magrib, aku pun memutuskan mengaso menepi sebentar di sini, sembari kembali merenungi keadaanku. 

Sekitar 4 bulan lalu, aku masih memiliki meja kerjaku sendiri di  sebuah ruangan kantor yang nyaman dan sejuk. Lalu hanya dalam waktu singkat, aku telah beralih rupa menjadi orang buangan. 

Rasanya sedih sekali, sebab aku dan teman-teman kantorku harus rela pergi tanpa uang pesangon sepeser pun. Perusahaan kami benar-benar kehilangan daya oleh pandemi sialan ini.

Lamunanku buyar karena merasa seseorang menepuk pundak kiriku. Aku menoleh, lalu sedikit terperanjat karena engkau sudah duduk di sebelahku. Wajahmu tanpa ekspresi, persis seperti yang kulihat saat pertama kali melewati jalan ini.

“Apa kabarmu, sepertinya lama sekali tidak berjumpa,” katamu tanpa memalingkan wajah. Aku melihat pandanganmu yang lurus ke bawah, seolah menembusi lapisan aspal hingga ke pusat bumi.

Terkait pertanyaanmu, aku bingung harus menjawab apa. Ada sebuah aliran ganjil yang memenuhi nadiku, menghasilkan perasaan nyaman sekaligus waswas. Rasa yang sama itu kualami kala pertama kali bertemu denganmu, tepat di titik ini, di bawah pohon besar ini.

“Rasanya seperti memutar waktu,” jawabku sekenanya.

“Maksudmu?”

Aku kaget, ternyata engkau menyimak juga di balik wajahmu yang tampak dingin dan acuh itu.

“Yah, seperti memutar waktu,” aku menjawab setelah berdeham untuk membersihkan tenggorokan. “Terakhir kita bertemu, persis di bawah pohon ini, di jam yang sama, selepas magrib.”

Aku kemudian terperanjat sendiri setelah menyadari bahwa  engkau masih menggunakan pakaian yang sama. Selembar gaun putih lusuh tapi tampak bersih dan terawat.

Kamu pun melihat ke arahku, mungkin karena merasa bahwa ku tengah memperhatikanmu. Sejenak pandangan kita bertemu, lalu aku menatap lekat matamu yang tajam dan dibingkai oleh wajah yang pucat itu. Hanya ada kekosongan abadi di dalam sana.

“Gimana, sudah kamu timbang tawaranku kemarin?” Begitu katamu memecah kesunyian.

Aku tersentak, lalu segera menyadari tujuanku kembali ke jalan ini. Seminggu lalu, engkau menemukanku menangis putus asa lantaran kehidupanku yang telah berubah drastis. 

BACA JUGA: Sokoke itu Kunamai Si Bengal

Kedatanganmu bagai secercah cahaya di pekatnya malam. Sebab engkau menawarkan sesuatu yang tak pernah bisa kubayangkan, bahkan ketika kehidupanku masih tercukupi saat aku masih jadi pekerja kantoran.

“Aku bisa memberikan apapun yang kamu inginkan,” katamu kala itu. 

“Segalanya?”

“Ya segalanya..apapun yang kamu inginkan,” katamu sembari menyungging senyum tipis yang hampir tak kelihatan.Lalu ada kilatan cahaya api yang kutemukan di kedalaman bola matamu yang hitam pekat itu.

Kita berbicara begitu intens mengenai tawaranmu yang terasa tidak masuk akal itu, tapi begitu meyakinkan. 

Beberapa kali terlintas di benak bahwa dirimu adalah salah seorang dari para pelaku multi level marketing yang suka mengumbar janji surga. Namun ucapanmu itu seperti barisan-barisan mantra yang menyihirku begitu rupa, yang membuatku tertunduk menyerahkan diri.

“Kalau kamu setuju, datanglah lagi ke sini minggu depan,” Ucapanmu itu kembali membawaku ke sini.

Ingatanku kembali ke masa kini. Lalu aku melihat kamu masih saja  duduk di situ. Pikirku, kamu bisa menyelami benakku, sehingga dengan sabar menungguku memproses ingatan-ingatan mengenai pertemuanku denganmu seminggu silam. Karena mungkin engkau tahu tahu bahwa aku akan mengamini tawaranmu.

“Baiklah aku setuju,” ucapku.

“Maka terjadilah,” sergahmu.

BACA JUGA: Kasihku pada Wendy Melampaui Waktu

Tak lama, sebuah mobil hitam meluncur dan berhenti tepat di depan kita berdua sedang duduk. Engkau berdiri, lalu membukakan pintu belakang mobil  untukku yang berdiri dengan kikuk dan menyelinap masuk ke dalamnya. Sementara motor dan daganganku, kutinggalkan begitu saja di situ.

Selanjutnya aku tak mengingat dengan jelas lagi. Aku merasa seperti berada di bawah pengaruh zat adiktif yang kuat dan merasakan halusinasi yang tidak bisa dijelaskan.

Sebuah potongan ingat memperlihatkan dirimu yang tanpa sehelai benangpun tengah merayapi tubuhku. Aku merasa seperti sedang ditindih sebongkah es, dingin sekali. Setelah itu, gelap gulita.

Pada penglihatan yang lain, aku seperti digiring ke sebuah ruangan luas dengan penerangan yang minim. Ruangan itu diisi oleh banyak orang berjubah gelap. masing-masing mereka menggumamkan kata-kata yang tak kumengerti.

Ingatan terakhirku di tempat itu adalah dibaringkan pada sebuah meja pualam. Lalu orang-orang itu mengerumuniku dan segera saja aku merasakan kesakitan yang luar biasa pada sekujur tubuhku hingga kesadaranku hilang karenanya.

Gelap gulita melingkupiku. Rasanya sungguh sepi dan lama sekali. Begitu pekat. 

Ingatanku kembali setelah tubuhku diguncang-guncang dengan lembut. Lalu aku menemukan diriku tengah terbaring di sebuah dipan luas dengan seprei satin yang lembut.

“Sayang, bangun,” terdengar suara yang akrab di telingaku. Suaramu.

Aku melihat wajahmu, lalu terperanjat karena hampir tak percaya. 

“Kenapa, sayang? Ini aku, sosok yang sama yang kau temui di jalanan itu,” katamu.

Aku tak ingin melihatmu, tapi seolah tak kuasa menutup mataku sendiri. Sebab, engkau begitu cantik dan menakutkan dalam waktu yang bersamaan.

Sulur-sulur dari tubuhmu memulai kembali menggapaiku, menjalar dengan lembut di atas kulitku lalu menghujam dengan cepat dan menembusinya. Aku memekik kesakitan, dan engkau mencoba menenangkanku.

“Nikmati saja kesakitan itu, sayangku. Ingat, ini akan membuatmu kaya selamanya,” begitu ucapanmu sebelum aku kembali hilang kesadaran.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co