Kisah Mualaf: Lingkungan Majemuk, Aku Berlabuh di Pelukan Islam

05 Mei 2021 08:30

GenPI.co - Namaku Made Astrin Dwi Kartini, teman-temanku biasa memanggilku Acin. 

Umurku 23 tahun. Aku adalah seorang alumnus universitas negeri di Depok.

Pada November 2016, aku memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Tak ada alasan khusus, aku hanya merasa yakin dengan Islam.

Sebenarnya, keluarga besarku memiliki agama yang beragam, mulai dari Hindu, Islam, dan Katolik. 

Saat TK dan SD aku pun masuk sekolah Katolik, karena tak ada sekolah Hindu di Situbondo, tanah kelahiranku.

Masuk ke sekolah dengan agama yang berbeda dengan agamaku membuat timbul beberapa pertanyaan terkait perbedaan cara ibadah antara kedua agama tersebut.

Aku mulai membuat komparasi antara apa yang aku dapatkan di sekolah, dengan pelajaran agama yang aku dapatkan di rumah.

Saat itu, karena setiap siswa diwajibkan masuk gereja, aku pun mulai mendalami ajaran-ajaran di Katolik.

Nyaman rasanya saat itu berada di sekeliling umat Katolik dan melakukan beberapa ibadah bersama mereka. Namun, ada beberapa pertanyaan yang masih belum terjawab saat itu.

Saat masih memeluk Hindu, aku mulai merasa tak nyaman dalam berdoa, padahal berdoa adalah cara seorang hamba berkomunikasi dengan Tuhan-nya.

Rasanya dulu itu ibarat aku yang tak yakin dengan jaringan Internet-ku saat sedang melakukan panggilan telepon dengan seseorang. Hal itu tentu membuat komunikasi yang terjalin tak berjalan lancar.

Semua sarana sudah tersedia, tapi kalau kita tak yakin bahwa sarana itu akan fungsional, hati kalian tidak akan tentram.

Dulu aku berspekulasi bahwa semua pertanyaan tentang agama dan kehidupan bisa dijawab secara rasional. Jadi, karena aku merasa pertanyaan itu tak terjawab di agama tersebut, aku tidak jadi ke sana.

Akhirnya, aku mencoba mencari ketentraman hati mulai di bangku SMP. Saat itu aku kebingungan, karena semua cara yang kucoba untuk menjadi tenang tak berhasil.

Lalu, ada kejadian yang mengubah pandanganku tentang Islam secara drastis saat aku SMA.

Saat itu, aku iseng mengajukan pertanyaan terkait Islam. Pertanyaan spesifiknya adalah kenapa umat Islam susah untuk mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristen dan Katolik.

Guru SMA-ku saat itu hanya tersenyum terus menjawab dengan nada yang menyejukkan dan lugas.

“Sebetulnya, orang yang beragama tak akan mengatakan hal seperti itu, apalagi melarang orang mengucapkan Selamat Natal,” ujarnya saat itu.

Dia mengatakan memang masih ada beberapa hal yang diperdebatkan, sehingga beberapa orang menganjurkan untuk tak usah dulu mengucapkan Selamat Natal.

“Namun, cara mereka salah dalam mengingatkan sesama. Saya pribadi pun masih mengucapkan,” kata guru SMA-ku saat itu.

Hatiku pun tak langsung luluh saat itu. aku bahkan menganggap omongan guruku hanya sebatas kata-kata manis.

Guru itu mengajar hanya selama tiga bulan di sekolahku. Di akhir masa ajarnya, dia memberikanku sebuah buku berjudul “Al-Qur’an Toleransi”. Buku itu menurutku bagus sekali.

Buku itu mengambil beberapa pertanyaan yang sangat amat menyinggung lingkup toleransi Islam sampai sejauh mana untuk hidup berdampingan dengan masyarakat majemuk.

Setelah membaca buku itu, aku merasa apa yang aku pertanyakan ada di dalam buku itu. Aku pun sengaja mengambil kuliah di kota yang jauh dari rumah.

Aku pun mulai mengikuti beberapa kajian Islam di masjid kampusku dan akhirnya berikrar menjadi seorang muslim pada 2016.

Teman-teman di komunitas kajianku sangat membantuku dalam mempelajari cara ibadah dan doa bacaan salat.

Saat mengetahui aku sudah menjadi seorang muslim, kedua orang tuaku marah besar.

Namun, suatu hari aku mendapat telepon dari Ibuku. Dia menyuruhku untuk pulang karena ada masalah keluarga dan mereka memintaku untuk berkumpul bersama mereka.

Setelah itu, kedua orang tuaku menerima aku dan agama yang kupeluk saat ini.

Selama Ramadan, kedua orang tuaku tak ikut aku makan sahur. Meskipun demikian, mereka ikut makan bersamaku saat buka puasa.

Saat Hari Raya tiba, aku pergi ke keluargaku di Malang. Mereka juga memeluk agama Islam, jadi kami merayakan Idulfitri bersama-sama.

Jalan yang harus kulalui untuk menjadi seorang muslim menghabiskan hampir dari separuh umurku.

Walaupun aku tak menyebutnya sebagai sebuah hidayah, tapi aku merasa lebih yakin saat ini sebagai seorang muslim. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co