Kisah Cintaku Selama 8 Tahun Kandas Gara-gara Orang Ketiga

23 Mei 2021 22:55

GenPI.co - “Fi, dateng dong ke rumah Tante Isna. Kamu hari ini libur, kan?” kata Mama membangunkanku.

Aku pun terbangun dan memproses perkataan Mama.

BACA JUGASedang Menggebu-gebu, Aku dan Kekasih Dipergoki Sama Tetangga

“Mau ngapain emangnya, Ma?’ jawabku sambil mengucek mata.

“Ada rapat keluarga, penting. Buruan mandi,” ujar Mama sambil meninggalkan kamarku.

Dengan berat hati, aku pun bangun dan berjalan menuju kamar mandi.

Sambil mandi, aku berusaha menebak-nebak apa kira-kira yang akan dibahas di rapat keluarga itu.

Ah, mungkin masalah warisan, pikirku. Aku pun buru-buru menyelesaikan mandiku dan siap-siap.

Aku melirik jam dinding di kamarku sambil mengancing kemeja flanel. Pukul 10 pagi.

Pagi sekali, memangnya rapatnya sepenting apa?, tanyaku dalam hati.

“Rafi, buruan ayo kita berangkat. Ini Mama, Papa, sama Adek udah rapi,” kata Mama sambil mengetuk pintu kamarku.

“Iya sebentar, Ma. Ini lagi pake jam tangan,” jawabku.

Usai rapi-rapi, aku bergegas ke garasi dan memanaskan mesin mobil.

Mama, Papa, dan Adik langsung keluar rumah. Aku melihat adikku membawa sebuah bingkisan rapi seperti hendak diberikan ke seseorang.

“Itu buat siapa, Dek?” tanyaku saat adikku membuka pintu mobil.

“Disuruh Mama tadi bawa ini, nggak tau deh aku,” jawabnya.

Selama perjalanan, aku masih kebingungan. Namun, aku pun berusaha untuk tak memikirkannya terlalu serius.

Rumah Tante Isna berada di daerah Tangerang, sementara rumahku di wilayah Jakarta Timur.

Perjalanan yang kami tempuh cukup panjang dan lama, karena terjebak macet di beberapa titik.

Sesampainya kami di rumah Tante Isna, Mama langsung menghampiri Tante Isna yang menyambut kami di pintu rumahnya.

“Is, apa kabar?” tanya Mama.

“Baik-baik. Itu orangnya sama keluarganya udah nunggu di dalem,” kata Tante Isna.

“Duh, maaf ya lama, soalnya tadi macet banget,” kata Papa.

“Iya, nggak apa, yuk masuk dulu,” ujar Tante Isna.

Kami berempat pun masuk ke rumah Tante Isna. Di ruang tamu, ada seorang pria paruh baya, perempuan paruh baya, dan seorang perempuan muda.

Perempuan itu terlihat seperti seumuran denganku. Namun, aku tak kenal orang itu siapa.

“Kenalin, ini Farah. Ini orang tuanya, Pak Budi dan Bu Sri,” kata suami Tante Isna yang sedang duduk mendampingi ketiga orang tersebut.

“Kenalin, ini Rafi, ini Nadia, adiknya. Saya Isma, kakaknya Isna,” kata Mama.

Mereka lalu mengobrol seperti biasa. Namun, sampai saat ini aku belum paham untuk apa ada pertemuan ini dan siapa orang-orang ini.

“Nah, sekarang langsung saja, ya. Papa ingin kamu menikah dengan Farah. Papa sama Om Budi udah temenan lama dan kami udah ingin kamu dan Farah menikah sejak dulu,” kata Papa.

Aku yang kaget pun tak bisa berkata-kata. Siapa orang-orang ini, aku juga tak kenal.

Suasana pun hening seketika, karena sepertinya semua orang menunggu jawabanku.

Aku pun sekarang paham kenapa adikku membawa bingkisan tersebut. Bingkisan itu ingin diberikan ke Farah dan keluarganya.

“Pa, aku kan udah sama Sonia. Kenapa tiba-tiba gini, sih? Aku juga belum kenal sama Farah kan,” jawabku setelah akhirnya bisa mengeluarkan kata-kata.

“Sonia itu beda keyakinan sama kita, kamu nggak ingat?” jawab Papa.

“Tapi aku sama Sonia kan sudah delapan tahun bareng, Pa,” kataku.

“Delapan tahun juga belum tentu nanti dia bisa jadi istri yang baik buat kamu. Ini Farah, sama keyakinannya dengan kita. Dia juga pintar dan dari keluarga baik-baik,” ujar Papa.

Aku pun tertegun.

“Ya nggak bisa gitu, Pa. Kenapa tiba-tiba gini?”

“Papa nggak mau tahu. Kamu selama ini nggak serius kok nyari calon istri. Makanya, ini Papa berikan calon istri yang baik buat kamu,” tutur Papa.

Jantungku berdegub sangat cepat. Emosiku mulai tak stabil dan keringat sudah mulai keluar di dahiku.

Bisa-bisanya hal ini terjadi denganku.

Bagaimana aku bicarakan hal ini dengan Sonia? Aku cinta padanya dan berniat untuk menikahinya setelah ada jalan keluar dari masalah perbedaan keyakinan kami.

“Coba aja dulu kamu kenalan sama Farah. Kalian sama-sama pintar dan seumur kok. Pasti bisa lancar dan cocok,” ujar Mama.

Mataku mulai berair. Kata-kata sudah tak mampu lagi kuucapkan untuk membalas perkataan Papa dan Mama.

Aku pun bangkit dari kursi dan berjalan keluar rumah. Terdengar suara Papa dan Mama memanggilku dari belakangku.

BACA JUGAAku Cinta Skripsi, Bimbingan, dan Lamaran

Namun aku tak peduli dan terus berjalan keluar. Setidaknya keluar dari kompleks perumahan Tante Isna dan mencari tumpangan menuju tempat yang aku juga tahu ke mana. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co