GenPI.co - Aku dan Anita sudah menikah selama delapan tahun. Biduk rumah tangga kami sangat harmonis, bahkan tidak jarang membuat tetangga iri.
Kami sudah dikaruniai dua orang anak, yakni Jasson dan Maddy. Selama PPKM diberlakukan, kami lebih banyak di rumah.
Istriku luar biasa. Selama di rumah, dia seolah tidak pernah berhenti melakukan berbagai aktivitas.
Selain pandai mengurus rumah tangga, Anita juga pintar memasak. Masakan andalannya ialah sup yang penuh dengan sayuran dan ayam.
"Wah, wangi sekali masakan istriku," ucapku, sambil mendatanginya yang sibuk memasak di dapur.
"Gombal. Bilang aja bosen aku tiap hari masak sup," balasnya, dengan nada genit.
"Nggak, dong. Masakan istriku terbaik, apalagi kalau sup," balasku, sambil memeluknya dari belakang.
Jam makan siang pun tiba. Kami sekeluarga selalu makan bersama di meja makan.
Sebelum makan, kami selalu berdoa bersama untuk mensyukuri berkat makanan yang tersedia.
Aku dan anak-anak menyantap makanan dengan lahap. Tidak ada rasa bosan walau masakan yang dihidangkan buatan sendiri.
Setelah selesai makan, anak-anak kembali ke kamar untuk melanjutkan tugas yang diberikan guru secara daring.
Aku masih menikmati makanan yang ada. Rasanya benar-benar enak.
"Sayang, aku tambah lagi, ya," ucapku, sambil menyendokkan makanan ke dalam mangkuk.
"Ya ampun. Kamu, tuh, ya. Itu kuahnya tumpah ke mana-mana," Anita menggerutu saat melihat meja kotor karena tumpahan kuah.
"Maaf, Sayang. Aku tambah sekali lagi, ya," ucapku sambil berusaha tak melihat wajahnya.
Aku berusaha memasang wajah kenakak-kanakan agar dikasihani. Inilah cara yang selalu aku gunakan ketika istriku cemberut.
Berhasil. Anita tidak lagi manyun. Dia melayaniku dengan senang hati. Senyumnya terkembang bak bunga bakung.
“Makasih, Sayang,” aku mengusap pipi istriku. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News